Selasa, 11 Agustus 2015

IMPERFECT - Sebuah Songfict



IMPERFECT..

"Kecantikan itu relatif. Orang punya ukuran tersendiri. Dan akupun punya ukuran tersendiri. Menurutku kau cantik, tak peduli apa yang orang lain atau bahkan yang kau katakan."



 "Bagaimana dengan baju ini?"

  Aku mengepaskan sebuah gaun berwarna hijau toska. Will hanya tersenyum. Seperti biasa, senyumnya begitu memikat.
 "Cantik."
 Aku mendengus begitu mendengarnya. Itu adalah kalimat ke-7 yang ia ucapkan padaku sepanjang aku mengepas baju. Hampir-hampir aku menyimpulkan ia bosan menemaniku belanja, jika saja aku tidak melihat senyumnya setiap kali aku mematut-matutkan diri di depan kaca.
 "Kau mengatakan hal itu pada semua baju yang kupilih." kataku sedikit menuduh. Will kembali tersenyum. Sepertinya ia tidak pernah kehabisan stok senyumannya.
 "Kau selalu cantik di mataku, Erisca, apapun yang kau pakai."
 Aku melengos. Kuambil gaun lain di gantungan terdekatku. Gaun itu berwarna kuning menyolok. Sangat norak.
 "Ini?" Will menelengkan kepala. Astaga, dia tersenyum lagi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu tenang.
 "Cantik, Erisca."
 Aku mengerutkan kening karena kesal. Kukembalikan gaun itu ke tempatnya sambil bergumam sendiri.
 "Padahal aku benci warnanya."
 Entah Will mendengarnya atau tidak.





 "Menurutmu jika aku pesan ini, ini, dan ini, apa itu semua akan membuatku tambah gemuk?"

 Will mendongakkan kepalanya. Kacamatanya sedikit turun karena ia tadi sedang membaca. Ekspresinya sulit ditebak, namun begitu senyum khasnya muncul, aku tiba-tiba merasa tidak perlu tahu jawabannya.
 "Kau tidak akan gemuk, Erisca."
 Aku jadi kesal. Ada apa sih dengan makhluk bernama William ini? Kenapa dia selalu membuatku seolah-olah aku adalah manusia paling sempurna yang pernah ia temui? Kenapa dia tidak pernah sekalipun menyangkal ataupun mengatakan 'Oh tidak, Erisca. Kau tidak cocok' dan sebagainya? Kenapa? Apa jangan-jangan ia hanya ingin melegakan perasaanku agar aku berhenti mengoceh? Pertanyaan itu terus berputar dalam kepalaku.
 "Er, kau jadi pesan sesuatu?"
 Aku nyaris tidak mendengar suara Will. Aku masih sibuk dengan berbagai dengungan di kepalaku. Entah mengapa pikiran-pikirana selintas itu begitu menyesakkan.
 "Kau sakit?" Will mencondongkan badannya ke depan. Tangan kanannya menyentuh dahiku. Aku menghindar. Sepertinya Will cukup terkejut dengan reaksiku.
 "Aku hanya ingin pulang, Will."
 Will mengerti. Ia menutup bukunya, lalu berdiri dan meminta maaf pada waiter karena tidak jadi memesan. Ia lalu menggandengku ke mobil yang ia parkir di depan cafe.
 "Kau baik-baik saja?" Nada suaranya sarat kekhawatiran. Aku hanya bergumam tidak jelas tanpa menoleh ke arahnya. Sepertinya Will menangkapnya sebagai perintah untuk mengantarku pulang ke rumah.

 Aku pertama kali mengenal Will saat kami bertemu di perpustakaan sekolah. Aku hampir tidak percaya, masih ada saja laki-laki sekeren dia berkeliaran di antara rak-rak buku. Waktu itu bagiku, menemukan orang yang sama-sama menyukai sastra fiksi-fantasi adalah sebuah kelangkaan yang mungkin tidak bisa kudapatkan dua kali. Jadi, ketika dia menyatakan perasaannya, aku menerima dia dengan bahagia. William sangat sempurna di mataku.
 Tapi, satu hal yang tak pernah terlintas di benakku saat itu adalah fakta bahwa dia juga menganggapku begitu sempurna. Hal aneh yang kurasa perlu dipertanyakan kebenaranya. Maksudku, yang benar saja? Aku hanyalah si kutu buku Erisca. Walaupun Will juga berkacamata, tapi aku sama sekali tidak pantas disejajarkan dengannya. Rambutku merah agak keriting, lain dengan rambut Will yang hitam bergelombang indah. Mataku hijau, agak aneh jika dipadukan dengan rambut merahku. Sedangkan mata Will coklat memikat. Rasanya Will mengada-ada dengan menyebutku 'cantik'.
 Pribadi? Ah gurauan yang tidak lucu. Kurasa pribadiku belum bisa disebut 'cantik'. Justru Will yang yang pantas kusebut demikian. Hatinya begitu putih. Kurasa hanya aku yang menganggap dia putih bergaris-garis seperti buku tulis, karena bagaimanapun dia juga kadang menyebalkan. Will senang sekali berbagi senyum. Belum pernah seharipun, aku melihat ia tidak tersenyum. Jadi, wajar 'kan jika aku bertanya-tanya?


 "Aku tahu kau marah padaku."
Will mematikan mesin mobilnya dan sekonyong-konyong menyentuh tanganku, membuatku tersadar dari lamunanku. Tangannya menggenggam tanganku dengan kuat.  Mata coklatnya menatapku dengan tajam.
 "Katakan ada apa, Eris."
 Aku membuang muka, membisu.Aku tidak mencoba melepaskan tanganku karena aku tahu itu akan sia-sia saja. Genggaman tangan Will begitu kokoh.
 "Eris.."
 "Apa aku sesempurna itu?" kataku pada akhirnya, tanpa melihat ke arah Will. Dari sudut mataku, Will memiringkan kepalanya.
 "Maaf?"
 Aku menghela napas. Rasanya aku ingin sekali menangis. Dengan suara yang kubuat-buat, aku lalu menoleh ke arah Will.


(Np: One Direction - Little Things)


 "Apa aku sesempurna itu, Will?"

Will sempat terperangah menghadapi pertanyaanku yang tidak terduga. Aku melanjutkan perkataanku. "Aku tidak sesempurna itu hingga kau harus mengiyakan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang kuajukan kepadamu."
"Eris.."
 "Will, ku mohon jujurlah. Aku lebih suka kau blak-blakan mengatakan 'Astaga Eris, kau tampak bodoh sekali' daripada kau mengatakan aku cantik jika memakai semua baju."
 Will mengendurkan genggaman tangannya. Matanya lekat menatapku.
 "Will, aku tahu kau mungkin bermaksud membuatku merasa puas diri, karena logikanya bagaimanapun yang mengatakan aku cantik adalah kekasihku sendiri. Tapi, tidak Will. Aku justru merasa karena kau kekasihku, kau jadi berpikir kau harus membuatku merasa demikian. Dan.."
 Will tiba-tiba memotong. Ia melepaskan genggamannya, matanya menatapku dengan pandangan yang paling tidak ku sukai. Pandangan terluka.
 "Jadi itukah yang kau pikirkan, Erisca? Kau pikir aku sengaja mengatakan kau cantik hanya agar kau lega? Begitu? Sesempit itukah arti perkataanku bagimu?"
 Aku terdiam. "Erisca, kenapa kau tidak bisa berhenti merasa rendah diri? Kenapa kau tidak bisa percaya perkataanku? Itu sungguh menyakiti hatiku. Bukan tentang pemikiranmu, tetapi tentang mengapa kau tidak bisa menghargai dirimu sendiri dengan harga yang pantas. Kau terlalu merendahkan diri hingga kau tidak menyadari betapa sempurna dirimu, Erisca. Kau terlalu mementingkan pendapatmu sendiri sehingga kau mengabaikan pendapat orang lain. Ketika orang lain tulus memujimu, kau malah berpikir mereka munafik, memuji hanya untuk menyenangkan dirimu saja tanpa memikirkan bahwa mungkin saja orang lain memujimu untuk memberikan penghargaan untukmu. Erisca, kau seharusnya menyadari kesempurnaan yang tersembunyi di balik ketidaksempurnaanmu. Kau memang tidak kuharapkan menunjukkan bahwa kau sempurna, tapi setidaknya kau tahu bahwa kau berharga dan layak untuk dicintai."
 Aku memandang Will setengah tidak percaya. Kata-katanya begitu menyentuh, seolah dia memang sudah lama menyusunnya untuk dikatakan kepadaku.
 "Erisca, kecantikan itu relatif. Orang punya ukuran tersendiri. Dan akupun punya ukuran tersendiri. Menurutku kau cantik, tak peduli apa yang orang lain atau bahkan yang kau katakan."
 Dan tangis itu pun meledak. Aku bahkan bingung, ini tangisan apa, entah kelegaan, bahagia, keharuan, atau apa. Will mendekapku. Astaga, aku sudah lupa betapa hangat pelukan Will. Betapa aku merasa nyaman, aman, dan terlindungi di balik dekapannya.
 "Maafkan aku, Will. Maaf. Betapa beruntung aku bersamamu." kataku di sela-sela isak tangisku. Will mencium rambutku lembut. Kudengar bisikannya di telingaku.
 "Aku juga."






A/N :
Hanya cerita pendek yang saya ketik lewat hape .__.v
Maklum kalo jelek, kependekan, typos, aneh, dll..
Ini cuma buat ngisi waktu senggang aja.
Hehe


Waiting any comments, critics, and suggestions :)



0 komentar: