Selasa, 11 Agustus 2015

A Little Piece of Heaven - Sebuah Songifct



A LITTLE PIECE OF HEAVEN




Title                       : A Little Piece Of Heaven

Author                   : Me, Myself, and I

Disclaimer             : A Little Piece of Heaven belongs to Avenged Sevenfold, all lyrics, main idea belongs to them. But story plot, characters, dialogues are mine.

Genre                     : Romance, Angst, Supernatural

Rate                       : M for Gore, not Lemon

Length                    : OS (± 19 pages of Ms. Words)

Warning                  : Randomness, abalism, typoness, human abuse, explicit contents, children under 17th are not permitted to read, may caused some effects like nightmare/vomitting.

A/N                        : I’ve changed a little bit of the original song’s story, and added some events based on my own imagination. Do not compare this story with the video clip. Differences are beautiful.








A Little Piece Of Heaven








#Prolog


                Before the story begins, is it such a sin?
                For me to take what’s mine, until the end of time..
                We were more than friends, before the story ends..
                And I will take what’s mine, create what God would never design..

                Our love had been so strong for far too long..
                I was weak with fear that something would go wrong..
                Before the possibilities came true..
                I took all possibility from you..




#1


                Purnama sempurna mulai menyeruak seiring sirnanya awan-awan hitam yang sedari tadi menyelimutinya. Angin malam yang dingin berhembus pelan, menggesek dedaunan dan menciptakan harmoni tersendiri. Tidak ada suara gonggonggan anjing atau suara kucing liar yang biasanya terdengar gaduh mengganggu. Malam itu sunyi senyap. Bahkan terasa sedikit mencekam. Seolah alam tahu bahwa haram bagi mereka merusak rencananya.
                Rencana laki-laki itu.

                “Kita mau kemana, Matt?”
                Julie Vignet merapatkan mantel abu-abu yang dipakainya, menghindari hembusan angin. Ia berjalan cepat-cepat, sebisa mungkin menyesuaikan langkah kaki pria yang berjalan di depannya. Pikiran Julie terus bertanya-tanya kemana pria itu akan membawanya pergi.
                “Matty, ayolah!” Tangannya menggamit lengan pria bernama Matt itu dan menyentakkannya  agar ia berhenti. Berhasil.
                “Ikuti saja aku.” jawab Matt pendek ―nyaris tanpa nada, dan kembali melangkah. Julie tercengang dengan reaksi pria itu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia akhirnya memutuskan mengikuti saja langkah pria itu, walaupun perasaannya sedikit tidak enak.

                Jalan yang mereka lalui semakin sepi dan semakin gelap. Matt memang suka menyendiri, hidup jauh dari hiruk-pikuk kota dan orang-orangnya. Tidak heran, jika ia memilih sebuah rumah di tengah bukit dan hutan. Tapi, mereka jelas tidak sedang menuju rumah Matt. Arahnya berbeda. Entah kemana mereka menuju.
                Julie memandang punggung Matt. Mantel coklat yang dikenakan pria itu adalah mantel yang sama, yang ia kenakan ketika Julie pertama kali melihatnya.  Ingatan wanita itu kembali ke saat-saat ia bertemu Matt. Kejadiannya sungguh kebetulan. Julie sedang berjalan-jalan sendirian di hutan, ketika tanpa sadar dirinya tersesat. Dan pada saat itulah, Matt muncul. Sejak itu, hubungan mereka berlanjut. Dan agaknya, Matt belum pernah bertemu dengan wanita lain, selain dirinya.  Matt jatuh cinta pada Julie. Atau tergila-gila mungkin. Sayangnya, Julie tidak merasakan hal yang sama terhadap pria itu. Dan tanpa sepengetahuan Matt, Julie malah menjalin hubungan dengan pria lain.

                “Kita sudah sampai.”
                Suara dingin Matt membuyarkan lamunan Julie. Julie menatap heran sekaligus takjub pada bangunan yang ada di hadapannya. Bangunan suram bergaya abad pertengahan yang tampak tak terawat itui, sudah pasti bukan milik Matt. Tanda salib besar di menaranya jelas bukan gaya pria itu.
                “Gereja?” tanyanya bingung.
                 Matt mengeluarkan satu lingkaran besi yang tergantung beberapa kunci. dan mulai memilah-milahnya. “Ya, dulunya.”
                 Julie merasakan bulu kuduknya merinding. Refleks ia mundur beberapa langkah. Matt menoleh ke arahnya, tepat ketika pria itu menemukan kunci yang dicarinya. Sorot matanya menggelap, membuat Julie bungkam karena ketakutan.
                “Jangan pergi, Julie.” katanya pelan sambil memutar anak kunci. “ Bukankah aku sudah mengatakan, ingin menunjukkan sesuatu padamu?”
Walaupun tidak mengatakannya secara langsung, Julie merasakan adanya ancaman di dalam kalimat terakhirnya itu.

                 Sebaik apapun renovasi yang dilakukan Matt terhadap bangunan ini, gereja tetaplah gereja. Bahkan di dalam kegelapan. Di langit-langit yang tinggi dan bermandikan cahaya purnama, masih terlihat mozaik kaca yang menggambarkan kisah kuno Kristus, serta salib besar yang menunjukkan bahwa tepat di bawah tanda itu, seorang pastor pernah berdiri di sana untuk berkhotbah. Matt kelihatannya membiarkan lukisan-lukisan khas gereja tetap tergantung di tempat yang semestinya. Perubahan paling signifikan terhadap ruangan itu hanyalah beberapa sofa, satu set meja dan kursi makan, tempat tidur yang bisa dilipat, sebuah almari kayu, serta rak TV ―yang menggantikan bangku-bangku panjang khas gereja.
                 Matt menyalakan lampu, membuat ruangan menjadi lebih terang dan bersahabat. Julie mengikuti di belakangnya. Bahkan di tengah rasa takutnya, ia tetap saja terpesona dengan hasil karya Matt. Julie menanggalkan mantelnya dan menyerahkannya pada pria itu.
                “Ini rumahku yang lain.” kata Matt setelah menyampirkan mantel Julie di sofa dan kemudian duduk di sana. Sikapnya yang sedikit lebih manusiawi, menyakinkan Julie ―walaupun sedikit― bahwa Matt tidak akan bertindak jahat terhadap dirinya.
                “Ini indah sekali..” kata Julie tanpa menyembunyikan kekagumannya. Ia berpaling pada Matt. “Inikah yang ingin kau tunjukkan padaku?”
                 Matt tidak menjawab. Ia berdiri dan melangkah menuju meja makan. Ia melambaikan tangannya, lalu berkata, “Inilah yang ingin kutunjukkan padamu.”
                 Julie berdiri dan berjalan ke arah Matt karena merasa penasaran.


                 Detik berikutnya, ia menjerit karena ketakutan.


                 Di meja itu tergeletak foto mayat dengan usus terburai dan wajah yang telah dirusak parah. Tapi, Julie tidak salah lagi mengenali siapa mayat itu. Background foto itu jelas menunjukkan siapa orang itu dan darimana fotonya diambil.



#2




                  Malam merangkak dengan perlahan, seolah tidak ingin pagi menggantikan kedudukannya. Bintang-pun enggan menghiasi langit yang gelap gulita. Suara-suara binatang malam mulai terdengar, seolah ingin menyingkirkan suasana sunyi senyap di tengah kegelapan yang mencekam. Tapi, itu bukanlah masalah bagi Matt yang terbiasa dengan kesendirian.
                  Pria itu duduk santai di tengah ruangan, tepat di bawah lampu kristal yang berkilauan. Segelas wine berada di tangannya. Kakinya disilangkan dengan gaya kaum kelas atas. Matanya terpejam, entah untuk menghindari kilauan lampu, atau hanya untuk sekedar menikmati suasana.
Ketika ia membuka mata, pandangannya langsung tertumbuk pada sesosok wanita yang terbaring tenang di sofa panjang di hadapannya. Cantik, menggoda, menggairahkan, dan penurut. Matt menyeringai kecil ketika memikirkan kata terakhirnya itu.
                  Sudah seminggu berlalu, sejak terakhir kali ia menikmati tubuh cantik itu. Ketika  itu, tubuhnya sungguh menggugah hasrat Matt. Dan sekarang saat dirinya duduk sendirian, ia merasakan ada yang bergejolak di dalam dirinya. Tapi, tidak. Ia tidak boleh membiarkan nafsunya menghancurkan maha karya nan indah ini.
                  Matt melirik deretan botol-botol berisi zat kimia yang ia rampok beberapa minggu sebelumnya, di lemarinya. Botol-botol itu kini telah kosong. Ia sudah menggunakan semuanya sekaligus. Pandangannya beralih pada laci bawah yang setengah terbuka. Pisau perak berkilatan di atas mantel berwarna abu-abu. Matt meletakkan gelas wine-nya di atas lemari, sebelum membungkukkan badan dan meraih pisau perak itu. Lidahnya menjilat pisau itu seolah sedang menjilat gula-gula. Bibirnya menyunggingkan senyum yang mengerikan. Tubuhnya bergerak perlahan ke arah tubuh wanita yang tengah terbuai tenang.
                  “Kau tidak pernah terlihat secantik ini, saat tertidur.” bisiknya tepat di telinga tubuh itu.
                   Bibir Matt menjelajah di wajah wanita itu. Menghembuskan napas hangat, di atas kulit yang dingin. Tangannya meraba pakaiannya. Gaun satin berwarna putih yang dikenakannya, ditemukan Matt saat ia membeli gereja tua ini. Pak tua yang sepertinya ingin segera menyudahi transaksinya dengan Matt itu, mengatakan kalau ia boleh mengambil gaunnya. Menurutnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan gereja tua ini berbau hal-hal mistis dan sihir hitam, jadi ia lebih lega jika bisa terbebas dari semua itu ―bahkan walaupun harus dengan harga yang murah. Matt hanya menanggapi ocehan pria tua itu dengan senyuman.
                  “Pak tua itu tidak tahu apa-apa.” bisik Matt pelan di telinga wanita yang sudah kaku itu. Ia menegakkan tubuhnya, lalu meraih gelasnya kembali. Disesapnya anggur itu dengan mata terpejam. Ia menggigit bibirnya, hingga terasa ada cairan asin yang mengalir. Tapi, ia tidak merasakan sakit, bahkan perih-pun tidak. Matt membiarkan anggur dan darah yang keluar dari mulutnya bercampur menjadi satu, sebelum menelan semuanya. Pria itu tersenyum, seolah tengah menikmati anggur kualitas terbaik. Rasa anggur dan darah adalah candu baginya. Terlebih karena rasa ketergantungannya itu, pertama kali ia rasakan sejak ia bersama sosok wanita itu.



#3



                “Siapa itu Harold?” bisik Matt dengan suara selembut sutra. Sangat kontradiktif, karena tangannya tengah mencekik leher Julie Wanita itu mulai megap-megap karena kehabisan udara. Tetapi, ia masih berusaha melepaskan diri dari cekikan pria itu.
                “A.. u.. i.. a.. k.. a.. u..” katanya dengan suara terputus-putus. Ia mulai merasakan tangannya mulai melemah saat dirinya berusaha melepaskan cekikan Matt dari lehernya. Rasa putus asa mulai menguasai pikiran Julie. Pria itu sudah tahu. Matt membunuh Harold! pikiran Julie meneriakkan kenyataan mengerikan itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk melawan Matt. Julie tahu bahwa semua manusia pasti akan berhadapan dengan kematian, ia yakin akan hal itu. Ia hanya tidak tahu bahwa kematiannya akan semengerikan ini.
                “Bitch!” desis Matt frustasi, lalu melepaskan tangannya dari leher Julie, membuat kepala wanita itu terbentur keras di atas lantai. Julie merasakan insting untuk kabur dan menyelamatkan diri. Ia membalikkan tubuh dan berusaha merangkak, menjauh dari Matt. Tapi, ia sudah tidak punya kekuatan lagi, selain rasa takut yang membuncah. Matt tiba-tiba menindih tubuh wanita itu dan sedetik kemudian terdengar bunyi retakan disertai jeritan kesakitan.
                “Siapa bilang kau boleh pergi begitu saja, jalang?” desis Matt sambil menekan tubuhnya di atas punggung Julie. Pria itu melanjutkan dengan suara lembut namun mengancam. “Kukira kita saling mencintai. Seperti Yesus mencintai murid-muridNya.Seperti seorang gembala mencintai domba-domba ternaknya. Kukira cinta kita kuat. Kita lebih dari teman ‘kan, Julie?”
                 Julie menggumamkan sesuatu, tetapi Matt tidak dapat menangkap kata-katanya. Pria itu mengambil pisau perak dari atas meja dan mengeluskannya di pipi wanita yang sudah basah oleh airmata.
               “Siapa sangka gembalaku adalah tukang daging?”  Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Julie, selain tangisan.
                Tiba-tiba Matt berdiri. Julie sedang berusaha bangkit untuk kedua kalinya, ketika pria itu tiba-tiba menginjak punggungnya, membuat tubuh wanita itu kembali tertelungkup. Dengan perasaan yang amat marah, Matt membalikkan tubuh Julie dan menekan kedua tangan wanita itu di lantai. Mata Matt berkilatan, membuat Julie menangis semakin hebat karena ketakutan.
               “I was weak with fear that something would go wrong.”desisnya. Matt mengarahkan pisau peraknya ke atas dada Julie.
               “Before the possibilities come true..” Dengan sekali sebat, dirobeknya pakaian Julie, membuat wanita itu setengah telanjang. Seringain terbentuk dari sudut-sudut bibirnya. “..I took all possibilities from you.”
               Jeritan itu terdengar lebih lemah dari sebelum-sebelumnya. Tapi, ketakutan dan kengerian yang tersirat dari suaranya, sudah pasti membuat siapapun merinding. Apalagi, jika ada yang mendengar tawa di sela jeritan itu.

                “Must have stabbed her fifty fucking times.. I can’t believe it..” dendang Matt pelan setelah membersihkan darah dari dada Julie. Tangannya beranjak dari satu ember ke ember lain yang berisi campuran bahan-bahan kimia yang berbau menyengat. “..ripped her heart out right before her eyes..”
                Pandangan Matt tertuju pada toples kaca yang berisi cairan pengawet berbau itu. Bibirnya yang pucat menyunggingkan senyum. Her heart will belong to me, forever and ever. Her heart for real, pikirnya dengan perasaan bahagia yang tidak terlukiskan.
                Pria berambut hitam kusam itu lalu menuang berbagai campuran bahan kimia tadi ke dalam bak mandi yang sudah sengaja ia siapkan untuk saat-saat krusial seperti ini. Matt melakukan semuanya sesuai buku yang ia peroleh dari pak tua yang menjual gereja ini padanya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, agar ia bisa bersama Julie untuk waktu yang tidak terbatas.
                Tapi, sebelum itu ia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang membuat darah kelelakiannya mengelegak sejak pertama kali melihat Julie.


#4


                    “Kau tidak akan menua dan keriput, sayang. I can keep you looking young and preserved forever, my Julie.” bisik Matt sambil menyemprotkan cairan kimia racikannya sendiri ke seluruh permukaan tubuh Julie. “..with a fountain spray on your youth whenever.”
                   “’Cause I really always knew that my little crime would be cold, that’s why I got a heater for your tighs..” bisiknya sekali lagi dengan nada romantis pada tubuh kaku Julie, seolah tengah membisiki istrinya sendiri. Ia telah mengganti pakaian wanita yang sudah robek dan berlumuran darah itu, dengan gaun satin putih yang menyimbolkan pakaian pengantin ―yang ditemukannya juga di gereja itu. Seakan-seakan para penghuni gereja itu sebelumnya, tahu bahwa barang-barang yang ditinggalkannya sudah pasti akan berguna bagi orang lain.
                    Matt meletakkan penghangat portable di bawah pinggul wanita itu. Pria itu tersenyum saat membelai rambut pirang Julie. Walaupun, sudah sebulan berlalu, pesona Julie tidak nampak berubah sedikitpun. Matt mengakui metode yang digunakan sekte aliran sihir hitam yang pernah bermarkas di gerejanya ini, adalah metode pengawetan mayat yang hebat. Terbukti wajah Julie tidak berubah pucat seperti mayat-mayat pada umumnya. Pipi Julie bersemu merah muda, menjadi kamuflase bagi orang yang melihatnya. Yang disesali Matt hanyalah metode sekte yang kejam.
                   “Maafkan aku, Julie.” kata Matt lembut sambil menyelimuti wanitanya. Matanya yang gelap tidak puas-puasnya mengagumi hasil karya yang maha indah ini. Maha karya yang ia buat. Matt tak bisa menampik fakta bahwa sekarang ini, Julie terlihat lebih cantik dan mempesona. Walaupun wanita itu akan terus tertidur.
                   Matt mengerjapkan mata saat memikirkan kata ‘tidur’. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia tertidur. Seminggu yang lalu? Ah, semua urusan yang menyangkut Julie ini membuatnya bisa tetap terjaga, bahkan mungkin sampai kapanpun. Dan kapan ia terakhir kali merasakan hidup sebagai manusia normal dengan segala kebutuhannya? Rasanya ia sudah tidak ingat lagi. Untuk apa menjadi manusia normal? Ia yakin, jika ada orang yang mengetahui perbuatannya sekarang ini, dirinya akan segera masuk golongan orang yang tidak normal. Lalu, apa untungnya? Menjadi normal, artinya ia harus berpisah dengan Julie. Matt lebih suka menjadi orang yang tidak normal.
                Suara perut yang kelaparan mengingatkan Matt bahwa ia masih manusia. Perutnya belum diisi makanan apapun sejak kemarin. Ia hanya meneguk wine bercampur darah, dan walaupun itu adalah candu baginya, minuman itu tidak berkhasiat apapun baginya selain menimbulkan rasa puas.
                “Sial!” umpatnya pelan. Lapar berarti ia membutuhkan sesuatu untuk dimakan. Dan sesuatu untuk dimakan, artinya ia harus mengemudikan mobil tuanya ke arah kota. Dan kota berarti keramaian. Matt benci harus bertemu dengan orang-orang. Ia lebih suka bertemankan kesendirian. Tapi, ia tetaplah manusia biasa.
                Matt melirik jam di atas rak TV-nya, rasanya sudah cukup gelap. Lebih baik aku berangkat sekarang, atau aku harus berburu tikus lagi.



#5


                Purnama sempurna mulai menyeruak seiring sirnanya awan-awan hitam yang sedari tadi menyelimutinya. Angin malam yang dingin berhembus pelan, menggesek dedaunan dan menciptakan harmoni tersendiri. Tidak ada suara gonggonggan anjing atau suara kucing liar yang biasanya terdengar gaduh mengganggu. Malam itu sunyi senyap. Bahkan terasa sedikit mencekam. Seolah alam tahu bahwa haram bagi mereka merusak rencananya.


                Matt melirik tumpukan bahan makanan untuk sebulan penuh di sampingnya. Dengan membeli sekaligus banyak seperti itu, ia tidak akan lagi harus meninggalkan Julie untuk keperluan manusiawinya ―setidaknya untuk satu bulan ke depan. Purnama yang terang menyinari jalan menuju gerejanya. Pria itu seakan mengingat kembali saat-saat ia membawa Julie ke singgasananya. Rasanya sebuah senyuman di bibir pucatnya tidak dapat mewakili perasaan puasnya.
                Matt mematikan mesin mobil ketika kendaraan itu berhenti dengan suara berisik di halaman gerejanya. Gerejanya masih tampak seperti bangunan kosong yang terkesan angker dan menyeramkan. Matt membuka pintu penumpang, dan mengeluarkan semua belanjaannya.
                Suara pintu yang berderit terdengar ketika pria itu mendorong pintu kayu besar itu ke dalam. Matt melangkah memasuki bangunan yang gelap. Ketika kakinya tengah melangkah di koridor dengan mengandalkan berkas-berkas sinar purnama, ia merasakan ada sesuatu yang terinjak olehnya.
                “Tutup toples?” gumamnya heran saat memungut benda bulat yang setengah terkoyak itu dengan tangannya yang bebas. Kenapa bisa rusak begini?
                Matanya kemudian menyusuri koridor yang gelap dan di ujung koridor ―yang berakhir tepat di ruangan utama di gereja itu―, terlihat seperti ada sesuatu yang menggenang di lantai. Apa ada yang bocor? pikirnya khawatir. Segera ia menuju saklar lampu terdekat, dan seketika ruangan menjadi terang. Mata Matt sempat buta sesaat oleh cahaya yang menyilaukan, sampai akhirnya ia bisa menyesuaikan penglihatannya.
                Saat itulah, dirinya melihat genangan air di lantai. Bukan.. genangan itu bukan air. Baunya menyengat seperti sesuatu yang membusuk bercampur dengan larutan pemutih yang memuakkan.
Matt serta-merta mengangkat tutup toples yang sempat terinjak olehnya tadi dan mendekatkan benda itu ke indera penciumannya. Bau yang tercium adalah bau sama yang sangat dikenalnya. Bau bahan kimia bercampur dengan sesuatu yang diawetkan.

               “Welcome Home, Matty.”

                Now, possibilities, I’d never considered.
                And occuring the likes of which, I’d never heard.
                Now an angry soul comes back beyond the grave.
                To reposses a body with which I’d misbehaved..

               Di hadapan Matt, berdiri sosok Julie dengan gaun satin putihnya. Wajahnya begitu mengerikan, dengan kulit yang mulai mengelupas di sana-sini. Tidak hanya itu, sekumpulan hewan kecil berwarna putih, tampak menggerogoti seluruh permukaan kulitnya. Tangannya yang berlumuran tanah ―seolah baru saja bangkit dari kubur―, menggenggam pisau perak dan stoples kosong tanpa penutup. Tapi, yang paling mengerikan adalah mata merah kehitamannya yang memancarkan sinar tajam. Sinar kebencian. Sebuah senyum tersungging di bibirnya ―yang sudah tidak terlihat seperti bibir lagi―.

                “Do you miss me?”


#6


                “37, 38, 39..”
                Bibir pucat Julie menggumamkan sederet angka. Tangannya yang menghujamkan pisau perak berlumuran darah itu ke permukaan kulit dada Matt yang telah rusak dan terkelupas itu, bekerja seirama dengan bibirnya. Suara wanita yang tadinya merdu di telinga siapapun yang mendengarnya, kini menjadi serak. Sebaris lagu terdengar dengan suaranya itu. Lagu yang tidak asing bagi telinga Matt.
                “Must have stabbed him fifty fucking times.. I can’t believe it..”
                “Henti.. kan.. Jul.. ie..” Matt memohon dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Sungguh ajaib bahwa pria itu masih hidup, padahal jantung dan paru-parunya telah rusak. Julie tersenyum sinis, seolah merefleksikan senyuman Matt saat pria itu melakukan hal yang sama terhadap dirinya, sebulan yang lalu.
                “Aku belum selesai berhitung, sayang..”
                Dan setelah kalimat itu, Julie justru menghujamkan pisaunya dengan lamban, seolah ingin menikmati penderitaan Matt. Tidak menunggu waktu lama, usaha Julie sia-sia. Matt telah terlepas dari penderitaannya, dengan hembusan napas terakhirnya. Tapi, wanita itu tidak peduli. 50 tusukan di dada. Ia harus membalasnya.

                Julie menyilangkan kakinya saat ia duduk di sofa panjang, tempat Matt biasa membaringkan dirinya. Tangannya menggenggam gelas wine berisi darah yang berhasil ia ‘panen’ dari tubuh Matt. Pekerjaanya toh sudah selesai ―lebih cepat. Ia telah melakukan hal yang sama persis seperti yang dilakukan Matt pada dirinya. Hanya saja, Julie tidak mengeluarkan jantung Matt untuk diawetkan. Ia menghancurkan jantung pria itu bersama organ-organ dalam lainnya.  Ia juga tidak menyentuh wajah Matt, membiarkan wajahnuya tetap utuh, karena pria itu juga tidak merusak wajahnya. Ia tidak mengawetkan mayat Matt, seperti yang dilakukan pria itu terhadap dirinya. Cairan kima aneh yang pernah berlumuran di tubuhnya, membuat Julie terlihat mengerikan ―bukan mempesona, seperti yang selama ini dilihat Matt―. Ia tidak mengawetkan Matt, tapi malah menguburnya secara sembarang karena ia ingin pria itu membusuk dan menjadi bangkai. Itulah yang pantas baginya.
Julie tidak merasa bersalah sedikitpun karena kekejamannya. Matt membunuhnya untuk diawetkan. Dan impas baginya, membunuh Matt. Kebangkitannya ini pastilah untuk sebuah alasan. Apalagi alasan yang masuk akal selain balas dendam?
                Julie tersenyum mengingat proses kebangkitannya. Rasa sakit itu bukan apa-apa dibandingkan dengan semua ini. Disesapnya darah dalam gelas yang dipegangnya. Rasanya menyenangkan, hangat dan manis. Inilah kemenangan. Jika bukan karena sekte itu, ah.. entahlah apa yang akan terjadi.


#7


                Malam itu begitu gelap dan sunyi. Hanya sisa-sisa sinar bulan purnama yang menembus kaca mozaik penutup atap, yang membuat sedikit penerangan. Julie sengaja mematikan lampu utama ―sinar yang terlalu terang membuat matanya serasa terbakar―, lagipula ia tidak ingin ada yang tertarik pada cahaya yang mungkin terpancar dari bangunan tua ini. Sebagai gantinya dinyalakannya lilin berwarna merah yang ―kebetulan― ia temukan di atas meja makan. Suasana begitu.. mencekam ―kombinasi antara gelap dan sunyi. Suara-suara binatang malam tidak terdengar sepanjang malam itu, jadi pantaslah jika Julie terkejut saat ia mendengar suara kaok yang khas, menggema di ruangan ini.
                “I’m a stupid silly immortal,” ejek Julie pada dirinya sendiri, sebelum kembali sibuk dengan kegiatannya tadi. Mencari sesuatu.          
                Tepat sejam yang lalu, ketika ia merasakan tubuhnya seolah terisi tenaga baru hingga akhirnya ia bisa bangkit, sebuah pertanyaan sederhana langsung berputar di kepalanya. Bagaimana bisa? Wanita itu yakin bahwa kunci dari semua ini adalah Matt. Tapi, ia tidak menemukan pria itu dimana-mana.

1  jam yang lalu..

                “Suilen yanko misoü rave / Ningó rare viktoti / Eilen faset tus eilen maset / Gaus / Gaus / Gaus//”
                Suara-suara itu menembus tengkorak Julie dan bergaung di dalamnya. Mengerikan rasanya. Seolah suara-suara itu berasal dari dunia lain. Roh Julie yang seharusnya sudah tidak bisa merasakan apapun ―ataupun melakukan apapun―, tiba-tiba seolah ditarik kembali masuk ke dalam tubuhnya hanya untuk ‘mencicipi’ rasa terbakar tiba-tiba yang tengah menghanguskan tulang-belulang raganya. Tubuhnya bergetar dan menggeliat, entah karena roh yang tiba-tiba bersatu kembali dengan jasadnya atau karena rasa terbakar yang luarbiasa sakit ―atau keduanya―. Kedua tangan pucatnya menggapai-gapai udara, seolah dengan begitu, ia bisa terbebas dari penderitaan.
                Dan penderitaan selama 7 menit itu-pun berakhir. Saat tubuhnya seharusnya kaku dan tak lagi bernyawa, ia justru merasa tengah mendapat suntikan energi baru. Setengah detik kemudian, kulit penutup matanya bergerak-gerak dan perlahan-lahan mulai menampakkan mata berwarna merah. Merah yang saking gelapnya, terlihat hitam. Seperti darah yang mengental.
                Dan Julia Arosia Vignet telah bangkit dari kematian.

                Sial, apa Matt tidak meninggalkan apapun? Gerutu Julie, sembari mengobrak-abrik lemari. Yang ia temukan sedari tadi, hanyalah botol-botol berisi bahan-bahan kimia yang ia tidak tahu apa itu. Pasti ini pengawet. Begitu yang dipikirkan Julie.
                Tangan Julie mendadak terhenti saat ia merogoh laci lemari yang paling bawah. Sebuah buku tebal bersampul kulit berada di hadapannya. Di antara keremangan cahaya lilin, mata Julie berusaha membaca judul yang ditulis timbul di sampulnya. The.. th.. ide.. o.. et.. if..  ais.. ad? Bahasa apa ini? Julie mendekatkan lilinnya, dan sadarlah ia bahwa tulisan itu berbahasa Inggris.
                “The XIIIth Guidebook of Sect. : Eternal Life by Raising Deadman.”
                Buku Panduan Sekte ke-13 : Hidup Abadi Dengan Membangkitkan Orang Mati?

                “Bab I : Dasar-Dasar.” Julie membaca halaman pertama.
               “Definisi Membangkitan Orang Mati, sesuai dengan Buku Panduan Sekte ke-2 : Upacara Yang Tak Boleh Dipermainkan, adalah menghidupkan kembali orang yang telah sengaja dibunuh dengan alasan tertentu, untuk kemudian menjalani kehidupannya yang kedua dengan tunduk pada aturan-aturan sekte. Syarat utama agar upacara dapat berhasil adalah korban yang ingin dibangkitkan, harus dibunuh dengan sengaja. Sesuai aturan sekte, dasar pembunuhan yang diperbolehkan adalah sebagai berikut : 1. Atas dasar perasaan kasih sayang yang amat mendalam; 2. Sebagai upaya pembebasan rasa sakit; 3. Pemberian kesempatan kedua; 4. Hukuman. Seperti yang dikutip dari Buku Panduan Sekte ke-3 : Dasar-Dasar Aturan, setiap alasan membunuh memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.
Proses Pembangkitan, dibagi dalam 3 fase, yaitu : Pembunuhan; Pengawetan; Kebangkitan. Masing-masing proses dilaksanakan sesuai dengan alasan yang digunakan untuk fase Pembunuhan. Jika hal ini dilanggar ―entah dalam kondisi apapun―, Upacara Kebangkitan tidak akan berjalan dengan sempurna. Resiko akan hal ini telah dijelaskan dalam Buku Panduan Sekte ke-5 : Kesalahan.”
                Tangan Julie gementar, saat membuka halaman demi halaman. Matanya bergerak cepat membaca kalimat-kalimat di tiap halaman. Ia tidak menelusuri seluruh halaman itu. Ia tengah mencari sesuatu yang lain. Dan sesuatu itu ia temukan di halaman 153.
               “Alasan 1 : Perasaan Kasih Sayang Yang Amat Mendalam.” Begitulah bunyi tulisan yang menarik perhatian Julie. “Kasih sayang adalah tingkat perasaan paling tinggi yang amat berbahaya jika berqdq di arah emosi yang salah. Setiap anggota sekte haruslah memiliki perasaan tersebut. Alasan ini digunakan dalam situasi-situasi antara lain : kerinduan yang amat mendalam, keinginan untuk memiliki selamanya, kecemburuan, keinginan terbebas dari kekangan lingkungan..”
                Keinginan untuk memiliki selamanya. Apakah itu alasan Matt melakukan semua ini padaku?

                Tangan Julie bergerak semakin cepat. Kertas tua berbau apak itu menyimpan semua jawaban atas semua pertanyaan Julie. Kenapa Matt menusuknya 50 kali, kenapa Matt mengambil jantungnya,  kenapa Matt mengawetkan mayatnya, kenapa dirinya menjadi korban kekejaman pria itu, dan kenapa ia bisa hidup kembali.
                Bibir Julie memperdengarkan geraman penuh kemarahan. Kuku jarinya yang menghitam mencengkram buku bersampul kulit tua itu dengan kuat, seolah ingin meremukkannya. Ia merasakan nafsu yang begitu menggelora di dalam dadanya.. dadanya. Dimana jantungku? gerutu Julie. Tidak butuh lama menemukan stoples kaca berisikan organ vitalnya itu dan membuka tutup tersegelnya dengan pisau perak yang ia temukan bersama stoples itu. Julie membuka gaun satin putih bagian dadanya ―sungguh ia baru menyadari jika ia memakai gaun―, dan meraba permukaan kulitnya. Terasa ada selaput tipis terjahit rapi di sana, untuk menutupi bagian dada yang seharusnya terkoyak dan berlubang. Julie merenggut selaput tipis itu. Ia lalu merogoh jantung berselimut cairan lengket menjijikan dari dalam stoples dan menempatkannya kembali ke tempat yang seharusnya, persis seperti yang buku sampul kulit itu tulis dalam Bab 7 : Fase Pembangkitan. Segaris senyum menghiasi wajahnya yang buruk rupa, ketika ketajaman pendengarannya menangkap sesuatu.
                Suara mesin mobil  yang sudah sangat dikenalnya.
                Aku merindukanmu, Matt. gumamnya pelan sambil meniup lilin merah yang sedari tadi menerangi ruangan itu.



#8


Hari Pertama.


Hari Kedua.


Hari Ketiga.


                Julie hanya tertawa saat sepasang pria dan wanita dalam mobil sedan itu menjerit ketakutan saat melihat dirinya. Sensasi menakuti orang sungguh menyenangkan. Tapi, yang lebih menyenangkan adalah saat ia dengan tangannya sendiri, mematahkan leher kedua orang itu dan menyayat dada mereka. Darah segar yang mengucur dari luka fatal itu memberikan kepuasan tersendiri bagi Julie. Ia adalah woman in death with her unnatural life ―seperti istilah buku panduan sekte itu―. Wanita yang dibangkitkan dengan tidak sempurna akan menjadi wanita mati yang hidup dalam keadaan tidak natural. Itulah dirinya. Pembunuhan yang ia lakukan membuat prosesi pembangkitannya tak berjalan dengan sempurna.
                Julie menggeser tubuh pria dan wanita yang telah memucat sepenuhnya karena kehabisan darah itu, dan meninggalkan begitu saja di dalam mobil mereka. Tubuhnya melesat dalam kegelapan malam, kembali ke dalam gereja tua milik Matt atau tepatnya mendiang Matt, yang kini menjadi tempat tinggalnya. Sebenarnya ia benci tempat itu, tapi ia tidak menemukan tempat yang lebih baik lagi.

                Meski baru beberapa jam yang lalu ia memuaskan nafsunya, Julie tetap memiringkan mulut botol wine yang telah ia isi dengan darah Matt ―bercampur obat anti-pengental darah― itu ke bibir gelas tingginya. Cairan berwarna merah itu membuat seolah darah dari kedua manusia yang baru saja diminumnya, tampak seperti tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang dapat menandingi kelezatan darahmu, Matt..
                Julie membawa gelas berisi darah Matt itu dan duduk di sofa. Sebagai wanita mati yang dihidupkan kembali ―walau tak sempurna― dan memiliki kehidupan abadi, Julie tidak merasakan kebutuhan-kebutuhan manusiawi seperti tidur, mandi, bersosialisasi, dan sebagainya. Kecuali untuk masalah makanan. Ia menutrisi dirinya sendiri dengan darah manusia. Itulah yang membuat jantungnya tetap berdetak meski ia adalah woman in death. Selain itu, ia membutuhkan sedikit hiburan dalam menjalani kehidupan barunya ini. Wanita itu memhabiskan waktu membongkar seluruh barang bawaan Matt dan menggeledah seisi gereja untuk menemukan buku panduan sekte yang lainnya. Ia berhasil menemukan 23 buku dan ia merasa buku-buku dengan ketebalan rata-rata 600-an halaman itu akan membuatnya lupa waktu.
                Julie menyalakan lampu baca sebagai penerangan tambahan di samping lilin. Ia suka lampu baca itu. Sinarnya tidak merusak matanya. Julie meraih sebuah buku. Baru hari ketiga dan ia sudah sampai pada buku panduan ke-17, The XVIIth Guidebook of Sect : Marriage. Walau tidak diberi pembatas, wanita itu tahu pasti pada halaman berapa, terakhir kali ia membaca.

                Malam beranjak pelan. Angin menderu keras di luar dan langit yang mengeluarkan kilatan cahaya, seolah menandakan akan turun hujan lebat. Tidak ada suara binatang lain. Seolah semuanya lebih memilih sibuk mencari perlindungan sebelum hujan turun daripada menyemarakan malam yang kelabu. Dan benarlah, tak seberapa lama kemudian, derasnya hujan diselingi gelegar petir menjadi satu-satunya musik alam.
                Julie menyesap darah di gelasnya perlahan. Matanya terpaku pada halaman yang tengah dibacanya. Ia samasekali tidak terusik dengan suasana hujan di luar. Ia bahkan tidak merasa kedinginan. Karena ia memang tidak bisa membedakan mana yang dingin, dan mana yang panas melalui kulitnya. Satu-satunya sensor perasa hanyalah lidahnya.
                Sefokus apapun perhatian Julie, toh ia terlonjak kaget saat kilatan petir menyambar bagian atap gereja itu. Listrik tiba-tiba padam, begitu pula lampu bacanya. Api lilin yang menjadi penerang juga tertiup angin. Suasana menjadi murni gelap.
                Julie berdiri dengan kesal. Apa yang harus kulakukan? Menghabiskan malam dalam kegelapan tanpa berbuat apa-apa? Kegelapan bukanlah masalah bagi Julie. Untuk apa makhluk yang bangkit dari kematian takut gelap, rasanya seperti zombie takut dengan pemakaman. Yang ditakuti Julie hanyalah kebosanan. Ia paling benci jika harus berdiam diri tanpa berbuat apa-apa. Apalagi ia memiliki waktu yang tidak terbatas.
                Tetapi, ternyata Julie tidak perlu berdiam diri dalam kegelapan, karena listrik pulih dengan cepat. Ruangan sedikit mendapat penerangan dari lampu baca. Wanita itu kembali duduk dan meraih gelasnya yang masih tersisa setengah. Tangannya baru saja bergerak mendekatkan gelas itu ke bibir ketika ia mendengar sesuatu yang berderak.



#9


                Siapa?
                Entah kenapa pikiran Julie langsung menyimpulkannya sebagai suara dari seseorang. Wanita itu mengendus-endus udara dengan hidungnya yang berkali-kali lipat lebih tajam dari manusia biasa. Tubuhnya bergerak tanpa suara. Bayangannya berkelebat anggun di sela penerangan yang minim. Jantung Julie berdegup dengan detak yang aneh.
                Manusia? pikir Julie ragu-ragu. Tapi, ia tidak mencium bau darah hangat. Ia bergerak mendekati sumber suara tadi ―yang sepertinya berasal dari pintu belakang―. Tapi, sebelum ia mencapai pintu itu, ia mendengar suara lain. Suara yang sangat ia kenal, suara serak dan penuh kengerian yang terdengar seperti bangkit dari kubur. Well, terkadang kiasan itu diambil dari kenyataan yang ada.
                “Julie..”


                Julie tercekat. Ketakutan merambati seluruh tubuhnya.
                Tidak salah lagi.. suara itu..


               Matthew Black.. bangkit dari kematian.



#10


                “Julie, kau.. hidup.” Matt menatap takjub pada sosok wanita dengan penampilan mengerikan di hadapannya itu, seolah ia adalah malaikat paling mempesona yang pernah ia temui. Sebaliknya, wanita itu menatap Matt dengan tatapan ketakutan, seolah pria itu adalah iblis paling mengerikan yang pernah ada. “Kau cantik sekali, Julie..”
                Tangan Matt yang berlumuran tanah, yang telah mulai membusuk itu terangkat ke depan, seolah ingin menjangkau Julie. Tubuh pria itu bergerak pelan ke arahnya. Wanita itu mundur cepat dan dengan wajah menyeringai, ia mendengus.
                “Mundur!” geramnya. Gerakan Matt sempurna terhenti. Seolah dibekukan. Ada sekelibat perasaan heran di benak Julie. Ia menurutiku?
                “Apa yang kau inginkan, Matt?” desisnya. Matt terdiam agak lama, sebelum menjawab. Suaranya terdengar menyedihkan, sekaligus mengerikan.
                “Now, that it’s done, I realize the error of my ways.” bisiknya. Julie bersumpah, bulu kuduknya berdiri saat ia mendengar suara pria itu tiba-tiba melemah dan berubah sendu. “I must.. I must venture back to apologize from somewhere far beyond the grave..”
                Senyap sejenak. Kesenyapan yang terasa mencekam. Bahkan jantung Julie tidak berani berdetak. Matt tiba-tiba berlari dengan cepat ke arah Julie dan tersungkur di kakinya. Tak ada air mata yang keluar dari mata pria itu, tapi suaranya yang serak jelas menggambarkan sesuatu yang nyata. Penyesalan.
              “I gotta make up for what I’ve done..” katanya. Kaki Julie bergerak mencoba melepaskan diri dari Matt.
               “Lepaskan aku, Matt!”
               Kengerian jelas mendominasi nada suaranya. Wajarlah jika wanita itu takut. Kebangkitan Matt bukanlah sesuatu yang ia harapkan. Apa yang akan terjadi nantinya? Julie bergidik. Saat ia membunuh Matt, posisinya jelas setingkat lebih tinggi dari pria itu. Sekuat apapun perlawanan Matt, ia tetap akan menang karena dirinya tidak bisa mati. Sekarang apa? Kini mereka kembali setara. Apakah Matt akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya? Apakah dirinya akan mati jika dibunuh oleh orang yang dibangkitkan dari kematian? Keduanya adalah person in death with their unnatural life. Apa yang dikatakan buku sekte itu.. Julie menggigit bibir, ia sudah tahu jawabannya.
               “Julie, marry me.”
               Julie tersentak kaget. Ia refleks menendang tubuh Matt, membuat pria itu tersungkur menjauh dari dirinya. Tangan Julie tergerak meraba-raba meja. mencari apapun yang bisa ia gunakan untuk melindungi dirinya.
               “Kenapa aku harus menerimamu setelah apa yang telah kau lakukan?” geramnya sambil memegang pisau perak. “Kau membunuh Harold! Kau.. membunuhku..”
               Matt terduduk dengan pandangan kosong, seolah pernyataan Julie menyadarkannya akan sesuatu yang belum terpikirkan. Bibir Matt yang kini serupa dengan bibir Julie ―terlalu mengerikan untuk dideskripsikan― menggumamkan kalimat yang baru saja ia katakan tadi.
               “Now, that it’s done, I realize the error of my ways. I must.. I must venture back to apologize from somewhere far beyond the grave.” Matt bersimpuh di hadapan Julie seolah menyerahkan seluruh jiwa raganya pada wanita itu. Kepasrahan yang membuat Julie terpaku. “I gotta make up for what I’ve done. ‘Cause I was all up in a piece of heaven. While you burned in hell, no peace forever..”
               Pria itu melanjutkan dengan suara tertahan. Aku mencintaimu, Julie. Terlalu mencintaimu, sehingga tanpa sadar aku membuatmu menderita. Maafkan aku, maaf..”
               Entah apa yang merasuki Julie, wanita itu tiba-tiba terduduk ―menyejajarkan diri dengan Matt―, membuat pria itu kaget. Tanpa air mata, tapi ia cukup peka untuk menangkap apa maksud dari suara tersedak-sedak itu. Julie menangis? Tangan Matt tergerak untuk membelai rambut panjang gadis itu. Tapi, tatapan matanya yang tajam membuat tangan pria itu terhenti di udara.
                “I will..” kata-katanya Matt dipotong oleh Julie dengan cepat.
                “What will you do?” desisnya.
                “..suffer for so long..”
                “Not long enough.”
                “To make it up to you..”
                “I pray to God that you do.”
                “I’ll do whatever you want me to do..”
                Julie membiarkan tangan Matt membelai rambutnya. Tatapan matanya membuat hati pria itu luluh. Suara Julie terdengar bagai dentingan lonceng gereja yang menyejukkan. “Well, then I’ll grant you one chance.”
                Matt memeluk wanita itu seolah ingin menumpahkan penyesalan dan kasih sayangnya. Kedua telapak tangannya menengadahkan wajah Julie. Lalu dengan perlahan kedua makhluk yang sama-sama terlihat mengerikan itu berciuman. Ciuman itu berlangsung cukup lama, seolah Matt enggan melepaskan bibir Julie. Akhirnya setelah ciuman itu berakhir, pria itu berbisik lembut. “And if it’s not enough..”
                “If it’s not enough?” Julie balas berbisik.
                “Try again, and again.. over and again..”


                Dan sisa malam itu seolah hanya menjadi milik mereka berdua.




#Epilog


                 
                “We’re coming back, coming back..
                Let’s have a wedding, have a wedding..
                Let’s start the killing, start the killing..”

                 “Tuhanku!” Pendeta bernama James Wilbur itu tertelungkup ketakutan di bawah kursi. Tangannya menggenggam rosario, mulutnya terus menggumamkan doa-doa yang bisa ia ingat. Tapi, entah mengapa, pada saat seperti ini, ia justru melupakan semuanya. Ketakutan memang mengacaukan pikirannya. Belum pernah ia dilanda ketakutan semacam ini, sejak ia kehilangan istri 20 tahun silam. Kengerian yang ia rasakan berbeda. Ini kengerian yang tidak rasional.
                Demi Tuhan, mereka itu apa? batin pendeta tua itu ketakutan.
                Ia tidak datang hari ini untuk menyaksikan sebuah tragedi. Ia datang untuk menyaksikan sebuah upacara suci. Ia datang untuk melihat orang-orang berbahagia, bukan orang-orang yang menderita. Pendeta itu menggenggam rosarionya semakin erat, dan berharap Tuhan mengabulkan doanya. Doa agar ia dapat selamat dari semua ini.
                Sederatan tawa yang terdengar maniak menggema di dalam gereja beratap tinggi itu. Pendeta Wilbur berulangkali menyebut kata Tuhan, Penyelamat, dan Surga di tengah rasa panik yang menyelimutinya, ketika tawa itu disusul teriakan seseorang yang ia kenal.
                Jemaatku! Ada berapa lagi yang tersisa? Aku tidak ingin mati dengan cara seperti ini, Tuhan!
                “Hai, pendeta tua.” Sapaan itu membuat jantung sang pendeta nyaris melompat keluar. Ia menatap kaget pada wajah seorang wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wanita itu melongok ke kolong kursi, dengan posisi yang aneh ―seolah kepalanya terpuntir―. Bibirnya yang berwarna hitam dan berlumuran darah menyunggingkan senyum. Ia lalu berkata dengan nada hormat, namun terdengar mengancam. “Kami ingin minta tolong padamu, Bapa.”
                Kami? Ada berapa orang..
                “Keluarkan dia dari situ, Matt!” perintah wanita berambut panjang pirang itu. Dan tak berapa lama, Pendeta Wilbur merasakan tangan-tangan kasar menarik tubuhnya dan membalikkannya. Matanya langsung tertumbuk pada seorang pria yang sama mengerikannya dengan wanita itu. Kedua makhluk itu memakai pakaian resmi yang tampak compang-camping. Si wanita memakai gaun satin, dan si pria memakai jas hitam.
                “Kau harus membantu kami, Bapa.” kata pria itu dengan nada yang menyenangkan.
                Sebuah harapan muncul di benak Pendeta Wilbur. Bisakah aku selamat nanti? “Apa.. yang.. harus kulakukan?”
                “Nikahkan kami.” jawab kedua makhluk mengerikan itu bersamaan.

                Pendeta Wilbur berdiri dengan kikuk di lantai marmer yang sebagian besar telah ternodai dengan darah. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, menguarkan bau menyengat. Pria tua itu berusaha mengabaikan keadaan yang mengerikan di sekitarnya. Tangan keriputnya gemetaran saat menerima buku yang diserahkan kedua makhluk tadi padanya. Ia sempat membaca sekelebat judulnya. The XVIIth Guidebook of Sect : Marriage.
               “Do you take this man in death for the rest of your unnatural life?” kata Pendeta Wilbur mencoba menyembunyikan nada ketakutannya.
               “Yes, I do.” Bibir wanita itu menyunggingkan senyum. Tangannya menggamit lengan si pria dengan manja.
               “Do you take this woman in death for the rest of your unnatural life?”
               “I do.” Pria itu menjawab dengan nada yang sama tegasnya dengan si wanita.
               “I, now, pronounce you..”


                Walaupun Pendeta tua itu tidak yakin, tapi hatinya berbisik lirih ―penuh harapan. Tuhan, selamatkan aku. Jadikan perkataanku ini, penyelamatku.


                                                                                                               


The End









Behind The Scenes :

                Menurut guidelines sebuah komunitas fanfiction yang saya ikuti, nggak boleh ada 2 (A/N), makanya saya nulis bagian ini dengan judul “Behind The Scenes”. Alasan saya post di fb, juga karena guidelines yang nggak memperbolehkan fanfiksi dari lagu (a.k.a songfiction). Hehe saya mah bandel aja :3 wakaka XD
                Oke, akhirnya saya bisa menyelesaikan cerita ini  \(^o^)/ banzaiii! A Little Piece of Heaven adalah salah satu lagu favorit saya. Lagu ini bener-bener deh.. jenius banget. :3 Buat yang belum pernah denger, saya harap cerita saya menginspirasi kalian buat download lagunya :’3 Nama Matt Black, saya curi dari nama vokalis A7x yang kece banget, Matt Shadow. Karakternya saya bayangin gabungan dari beberapa hal, mulai diri saya sendiri, Light Yagami, bahkan temen saya ;3 Untuk karakter Julie Vignet, jujur saya ngebayangin Julia Roberts ―padahal nggak cocok :3—, susah banget bikin Julia Roberts jadi wild. .----. Saya ngerasa failed. :^(
                Seiring selesainya cerita ini, saya udah ngerasa hebat banget dah, habis cerita ini udah lama tertunda gara-gara banyak halangan, seperti tugas yang tiba-tiba datang, komputer yang ngadat, hape yang rusak, mood yang berubah-ubah,.. ceileh saya jadi curhat. -__- Saya agak nggak sreg sama endingnya yang agak gimana gitu. :v Keknya maksa banget yak -__- Please kalo ada yang tahu lagu A Little Piece Of Heaven, kasih saya saran buat endingnya. :3 Go downloading the song guys (~ ’-‘)~
                Thanks for everyone yang udah baca. Special  thanks for Kaito Kit, thanks for recommending me an anime (or maybe a manga? cmiiw) to make this story more horror, though it was failed karena saya nggak sempat nyari. :3 I truly appreciate that. Pokoknya terima kasih tetep mau baca cerita-cerita saya yang absurdnya ngalahin Kemal Palevi (Btw, saya sedih banget Dodit keluar hiks :’( #OOTwoyyy *digorokMatty* ). Terima kasih udah nunggu saya yang ngaretnya luar biasanya ini :’D Thanks a lot, Merci beaucop, Gracias, Syukron, Maturnuwun, Haturnuhun, Sie sie, Gamsahamnida, Arigatou Gozaimasu~~ ^^
                Saya nerima saran dan kritik apapun, please kasih saya keripik yang pedes kalo bisa yang bikin saya nangis :’D *lebaydetected* #Plak
                Doakan juga cerita saya yang setting-nya Jepang bisa rampung yak :3 (udah dapet ⅗ cerita nih) hehe *PHPdetected* #Plak ///__-
                Udah gitu aja :3 hehe
                Sankyuu~~ ^^


                Regards,
                Me, Myself, and I ―as you know—









0 komentar: