Kamis, 25 Februari 2016

Anna Avicenna : Sebuah Kisah Tentang Perasaan Wanita



Anna Avicenna

Belinda Arimbi



Anna Avicenna


            Ah.. Anna Avicenna. Dua kata yang membuat hariku berbeda. Dua kata yang membuatku girang tak terkira. Hanya dua kata, dilafalkan Anna Avicenna. Dua kata yang dengan ajaibnya merepresentasikan seorang gadis cantik dengan wajah bulat dan rambut coklat membingkai. Dua kata untuk menggambarkan bola mata coklat dan bibir merah merekah. Anna Avicenna. Paduan kata yang sungguh menggambarkan kecantikan dan keanggunan yang berpadu dengan kepandaian dan kewibawaan. Sungguh sangat Anna! Ah.. Anna-ku yang..
            “Hayo, melamunkan apa?” Rizal menepuk pundakku, mengabur segala bayangan dan imajinasi tentang gadis cantik yang tersembunyi di bilik ujung kantor. Rizal Dirgantara mungkin tipe laki-laki yang layak kuanggap rival. Siapalah yang tidak jatuh cinta pada rambut hitam bergelombang dan mata tajam yang diperisai oleh kacamata itu. Siapalah yang tidak tahan dilimpahi senyum seribu watt-nya. Hah! Semoga saja Anna memiliki tipe yang kriterianya di atas Rizal. Mungkin tipe yang..sepertiku?


            “Bukan urusanmu, ‘kan?” Aku mengerucutkan bibir, kembali mencoba fokus pada tumpukan files yang menggunung di meja. Salahku sendiri, mengambil cuti kemarin. Sekarang pekerjaanku mengantri untuk diselesaikan.
            “Hei, aku ‘kan sobatmu, Rey.” Rizal mengacak-acak rambutku. Sejujurnya aku benci diperlakukan seperti itu olehnya. Risih.
            Aku bangkit dan berusaha mendorong figurnya yang lima senti lebih tinggi dariku. Perbedaan yang tidak pernah kusesali, karena aku cukup puas bisa lebih tinggi dari Anna yang notabene memiliki tubuh peragawati. “Kau pergilah sana. Jangan ganggu aku. Tak lihat ya, aku sedang ngebut pekerjaan?”
            Rizal melontarkan tawanya. Cukup keras untuk membuat beberapa kepala feminism menoleh dengan tertarik. Salah satu yang kubenci saat bersama Rizal adalah aku selalu kalah pamor.
            “Oke, oke. Santailah sedikit, Rey.” Rizal merapikan kemejanya. Aku bersedekap, memblokir agar dia tidak kembali ke dalam bilikku. Ia nyengir lebar.
            “Rey, Rey..” Rizal menggeleng-gelengkan kepala. “Bagaimana bisa dapat pacar kalau kau sebegitu galak?”
            Aku mendenguskan Puhh keras. Siapa yang peduli padaku, jika dia ada di sekitarku? Sudah kubilang, aku akan kalah pamor. Tapi, aku tidak sebodoh itu sampai membuatnya tahu. “Biar saja Rey ini jomblo sepanjang masa.”
            Rizal tertawa lagi. Makin banyak kepala-kepala yang melongok ingin tahu. “Hei, aku tahu! Bagaimana jika Valentine tahun ini, kau mencari pacar? Kita bisa double-date —kencan ganda!”
            Aku memutar bola mata. “Yang benar saja. Aku kan bukan ABG labil sepertimu.”
            Alis Rizal mengerut. “Ya ampun. Apa aku harus mencarikanmu pacar, Rey? Aku punya banyak kenalan..”
            “Jangan. Coba. Coba.” Kulemparkan tatapan mengancam dan aku berbalik kembali menghadap tumpukan dokumenku. Berusaha memfokuskan diri pada deretan karya yang masih perlu dianalisa kekurangan dan kelebihannya. Sepenuhnya mengabaikan Rizal yang tertawa, mengejek di balik punggungku.

ooOOoo

            Aku menatap berderet buku yang tertata rapi di depan mataku. Inilah kebingungan terbesarku setiap memasuki toko buku. Terlalu banyak pilihan. Sehingga sulit memutuskan mana yang layak dibarter dengan lembar-lembar uang di dompet. Karena aku seorang pelahap buku sejati, maka hampir semua rak kutelusuri. Filsafat, Geografi, Ekonomi, Seni dan Sastra, Novel.. mungkin aku hanya melewatkan lorong rak yang berlabel Buku Pelajaran.
            Aku tengah menimbang-nimbang apakah aku lebih memilih menghabiskan waktu untuk tenggelam dalam kisah abad Pertengahan atau Modernisme saat kurasakan sebuah tangan halus menepuk pundakku. Sensasinya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan ditepuk Rizal yang tangannya bagai tangan raksasa. Tepukan yang ini menggetarkan.
            “Loh, Rey?”
            Suara itu. Murni dan menenangkan. Tiada satupun yang dapat menandingi saat suara lembut dan feminism itu melafalkan namaku. Suara yang kurindukan setiap malam. Malah, setiap saat.
            “Anna?” Aku mengakhiri dengan tanda tanya, mengkonfirmasi mataku yang dibutakan perasaan gembira berlebihan.
            Anna-ku berdiri di sampingku kini. Rambutnya yang dikepang, tergelung ke atas dengan sematan bunga mawar untuk pemanis. Pakaiannya membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuatku sedikit tenang karena tidak banyak laki-laki yang bisa menikmati lengkuk tubuhnya yang tidak kentara. Seperti biasa, wajah Anna hanya terpoles riasan tipis. Bibir merahnya merekah alami. Cantik tapi tidak menyakitkan pandangan.
            “Kok sendirian, Rey? Tidak sama Rizal?” Anna mengedarkan pandangan.
            Aku gagal menyembunyikan kekesalanku. Dengusan itu keluar begitu saja, saat Anna menanyakan Rizal. “Memangnya aku pacarnya, kemana-mana harus berdua?”
            Anna tertawa. Duh, lonceng gereja saja kalah merdu dengan tawanya. Ia menyeka matanya. “Kukira.”
            Deretan buku di hadapanku tak lagi nampak menarik. Masa bodoh dengan King Arthur dan Manusia Mars. Daripada memelototi sampul yang menggoda dompet, lebih baik memandangi Anna yang menggoda iman.
            “Kau cari apa?” Anna melarikan jari-jemarinya yang lentik dengan kuku terpoles indah di atas sampul-sampul terbalut plastik.
            “Eh..” Tergagap, aku menyingkir bayangan tangan Anna berlari di atas kulitku. “Mmm.. bacaan untuk di rumah.”
            Anna menarik salah satu buku dengan sampul buku bercorak daun dari rak. Ia meneliti bagian belakangnya, mencaritahu deskripsi isinya. “Punya banyak koleksi di rumah?”
            “Lumayan.” Aku tersenyum senang. Sepertinya aku tidak bermimpi apapun semalam, hingga bisa bertemu dan mengobrol dengan Anna seperti sekarang ini. Kuusahan suaraku terdengar biasa-biasa saja. “Kau bagaimana?”
            Rupanya buku yang ditariknya tidak cukup menarik, karena kemudian dikembalikan lagi di rak. Tangan lentik Anna kembali menarik buku lain. “Sama juga, sih. Suntuk dengan referensi fashion dimana-mana.”
            Anna adalah editor bagian fashion di kantor kami. Oh, dan aku adalah editor bagian cerpen dan cerbung. Kami bekerja di bawah nama majalah yang sama, yang ditujukan untuk kaum wanita. Tapi, kantor majalah wanita tidak melulu harus berpegawai wanita juga. Bahkan hampir 60% karyawannya justru kaum Adam.
            “Kau sering ke sini?” Tangan Anna memegang beberapa buku. Pilihan yang akhirnya layak ditukar dengan gesekan kartu kredit di kantongnya.
            Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong jeans, berusaha menahan keinginan menyambar tangannya. “Lumayan sering.”
            Kepala Anna terangguk-angguk. “Wah, aku jarang melihatmu. Padahal aku juga sering ke sini.”
            “Mungkin berselisih waktu.” Secara otomatis, aku mengikuti langkah Anna yang berjalan di sepanjang rak, memilih buku. Aku hampir saja menabraknya saat, kakinya terhenti mendadak.
            “Oh! Kalau begitu, kita mungkin bisa ke sini sama-sama.” Anna tersenyum lebar. “Kau tahu, Rey, aku selalu kesepian, tidak punya teman ke toko buku.”
           Satu-satunya kalimat yang kubisikan dalam hatiku saat itu adalah Jangan melompat-lompat seperti orang gila, Rey.

ooOOoo

            “Jadi?”
            Rizal menatapku dengan tajam di balik kacamatanya. Istirahat siang itu, kumanfaat untuk sedikit bercerita padanya. Aku tidak mau membuatnya benar-benar mencarikanku pacar. Maka dengan sedikit samar-samar, aku ceritakan kejadian di toko buku kemarin. Tentunya dengan nama Anna yang disensor. Bisa heboh, jika satu kantor tahu aku naksir Anna. Terlebih Rizal.
            “Jadi.. apanya?” Aku mengernyit tidak mengerti.
            Figur di hadapanku menyeruput kembali kopinya. Menyabarkan diri atas kebebalanku yang mungkin dianggapnya keterlaluan. “Jadi, Rey, apa kau sekarang pacaran dengannya?”
            Tersentak, aku hampir menggulingkan cangkirku. “Pacaran bagaimana? Aku ‘kan baru bertemu dia kemarin!”
            “Tapi, katamu dia teman lamamu?” Itulah salah satu bagian yang kumodifikasi, bahwa aku bertemu teman kuliahku di toko buku. Dan dalam pandangan Rizal, seharusnya kami sudah siap menjadi partner dalam rencana kencan gandanya.
            “Memang. Tapi ‘kan tidak langsung dijadikan pacar juga.” Aku mencemooh. Rizal selalu suka dengan langkah cepat. Prinsipnya adalah jika kau suka seseorang, langsung sikat saja. Tidak perlu bertele-tele. Hal sama yang berlaku, jika dia mulai bosan dengan kekasihnya.
            Tentu saja, aku tidak berprinsip seperti itu. Jika iya, Anna sudah lama bersanding denganku.
            “Payah kau.” Rizal melemparkan pandangan menghina. “Kalau aku jadi kau, sudah kusabet dia.”
            Aku mengelus pinggiran cangkirku. Tapi aku ‘kan bukan kau. Tanpa sadar, aku melontarkan isi pikiranku.
            “Kau harus bergerak cepat, tahu.” Rizal mengembangkan lubang hidungnya. Hah! Coba saja jika wanita-wanita pengagumnya melihat kebiasaannya yang satu ini. Mungkin aku tidak akan kalah pamor dibanding dia lagi. “Kau harusnya.. eh! Anna!”
            Aku menyenggol cangkirku, mengamati cairan berwarna coklat menggenang yang membentuk pola abstrak di atas meja dengan gugup.

ooOOoo

            “Kau ketemu Rey kemarin?” Rizal langsung bersemangat saat Anna duduk dan meletakkan gelasnya yang setengah terminum. Cairan di dalamnya membuatku yakin bahwa Anna memang sungguh menjaga bentuk tubuhnya dengan alami dan sehat.
            Anna nyengir padaku. Seolah merasa bersalah. Ekspresi wajahku hanya bisa dideskripsikan sebagai pasrah.
            “Apa dia bersama seseorang?” Rizal memberondong lagi. Anna melirikku. Rizal menyadari gerak itu. “Katakan saja padaku, jangan sungkan sama Rey!”
            Siang itu harusnya aku bisa berpuas diri mengobrol dengan Anna tentang hal yang berbagai hal yang kami sukai.Seperti misalnya jenis buku, jenis musik, jenis kekasih.. Coba, kalau Rizal tidak ada. Aku tidak akan jadi obyek ‘penelitian’-nya sekarang.
            “Dia sendiri kok.” Akhirnya kalimat itu keluar dari bibir Anna. Rizal menatapku dan Anna bergantian. Seolah yakin bahwa ada perjanjian tidak tertulis di antara kami.
            “Yang benar?” tanyanya curiga.
            Anna menjawab mantap. “Benar kok. Kami malah berkeliling toko sama-sama kemarin.”
            Bibir Rizal mengerucut. Kali ini, mengeluarkan statement yang tidak sesuai kenyataan. “Tapi.. kemarin Rey ketemu mantannya lho! Kau yakin tidak lihat siapapun?”
            “Yakin.” jawab Anna. Ia melirikku jahil. Lirikan yang membuat jantungku mendadak berdebar-debar. “Tapi.. mungkin Rey ketemunya sebelum ketemu aku?”
            Rizal mengangguk-angguk sok paham.
            “Berhenti ngomongin itu, ah.” Aku mengancamnya. Rizal pura-pura tuli. Tapi, toh dia beralih ke topik lain. Hanya saja, topik yang dibicarakannya kini tidak terlalu menolongku keluar dari masalah. Malah menambah masalah baru. Apalagi Anna terlibat dalam obrolan itu.
            “Kau dan Rey mau double-date?” Anna membulatkan mata.
            Rizal mengerling padanya. “Kau mau ikut? Sebagai pasanganku.”
            Kubilang apa, soal gerak cepat? Tanpa basa-basi dia mengajak Anna-ku. Harusnya aku yang mengajaknya. Tapi aku kalah cepat lagi.
            Rasanya menyakitkan melihat semburat merah muncul di pipi Anna. Aku mengenali semburat itu. Aku hampir bisa menirukan kalimat yang akan keluar dari bibir merahnya. Kalimat klise yang akan diucapkan sebagai bentuk ketidakpercayaan. Kekagetan yang menyenangkan. “Sungguh?”
            Tapi, Anna masih memiliki sedikit perasaan untuk menoleh dan menatapku. “Tapi, Rey bagaimana?”
            Rizal tidak tahu. Dia tidak tahu aku memendam perasaan untuk Anna. Perasaan yang sudah berakar kuat sejak aku pertama kali melihatnya. Perasaan bernama cinta yang sampai sekarang tertahan untuk diungkapkan. Cinta yang tidak dapat kukatakan bukan karena aku tidak mau Anna tahu. Bukan karena aku takut Anna menolakku. Tapi, karena aku tidak ingin semua yang kubangun selama ini runtuh. Sahabatnya yang akhirnya bisa kudapatkan. Karir yang akhirnya bisa kurintis. Hidup yang akhirnya bisa kunikmati.
 Rizal tidak tahu keadaanku. Jadi, aku tidak bisa menghakiminya, saat ia menjawab,
           “Loh, aku ‘kan bukan pacarnya. Reyna bisa mencari laki-laki lain. Mungkin teman lamanya di toko buku itu.”
            Sungguh, aku tidak bisa menyalahkannya karena aku terlahir sebagai wanita.

ooOOoo


 Catatan Author :



Maraknya isu LGBT sekarang ini sedikit membuat saya jengah. Apalagi banyak bermuncul berbagai opini yang nge-sok tahu soal perkara ini. Rasanya malas dan kesal melihat timeline tiba-tiba penuh dengan berbagai status dan isu yang terkait. Pro dan kontra. Dan bukannya mau mendukung atau menolak, saya kesal sekali jika orang yang memposting itu sok tahu soal masalah ini dan asal menghakimi.
Masalah LGBT sudah lama ada sebelum ini. Tapi baru tahun ini jadi masalah heboh. Saya pikir orang-orang cenderung lebay dengan isu ini. Kenapa baru sekarang pedulinya? Okelah, kalo anda-anda sekalian concern dengan masalah ini. Tapi tidak asal teriak dan lempar batu sembunyi tangan dong.
Pokoknya kalo ditanya saya pro atau kontra, jawaban saya masih sama : grey area. Saya percaya kalo cinta itu nggak memandang gender. (Anda harus baca bukunya David Levithan yang berjudul Another Day dan Everyday! Recommended banget! Ini salah satu latar belakang alasan saya itu).
Saya juga percaya kalo penyimpangan itu salah dan bisa disembuhkan asal ada support dari orang sekitar. Ketahuilah, men-judge orang tanpa berniat membantu itu tidak ada gunanya. Apalagi yang ditambah menghina dan merendahkan. Cuma nambahin dosa aja.









0 komentar: