Selasa, 15 September 2015

Serial Baru Aku

Holaaa~ ^o^

Saya balik lagi, setelah sekian lama tidak apdet blog nista ini :'D

Masalahnya sih gegara tugas yang numpuk, juga event-event nulis yang lagi saya geluti (?) //ceileh//

So, baliknya saya ke blog ini, karena pengen ngisi blog yang udah lama ngga diapdet. Oh, ya, saya bawa cerita baru buat blog ini :') Ceritanya saya mau bikin serial psiko-psiko semi horror gitu di pesbuk. Kek drabble dan nggak panjang2 amat. Dan harus plot twist! //salahkan RL Stine yang sudah menulis cerita yg sangat nempel di kepala saya// =w=

Judul Seri-nya kali ini adalah #TooScaredToTell //tepuktangan//
Selamat menikmati ^^



#TooScaredToTell : Missed-Called







#TooScaredToTell : Missed-Call



            Ellie Williams melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam 8.47. Ia mengeluh dalam hati. Jika bukan karena Mrs. Morris yang cerewet dengan hasil resume-nya, tentunya ia tidak akan pulang seterlambat ini. Dan lagi, ia benci harus naik bis malam-malam. Saat yang riskan bagi seorang wanita.
            Perjalanan pulang Ellie memakan waktu kurang lebih 45 menit. Yang artinya, ia punya banyak waktu kosong untuk berpikir. Atau setidaknya membiarkan pikirannya berlarian kemana-mana.
            Tanpa ia inginkan, pikirannya teringat pada Adrian Weslikov. Pria keturunan Rusia itu dulu teman kuliahnya. Sekalian diperjelas saja, pria itu juga mantan pacarnya.
            Ellie mendesah. Ia benci mengingat Adrian. Apalagi alasan mereka putus. Ellie tidak pernah mengira Adrian yang manis itu bisa sekeji itu menghianati hubungan mereka dengan berselingkuh. Bayangkan! Berselingkuh! Jika ada satu hal yang bisa membuat Ellie mengernyit jijik dan marah pada saat yang bersamaan, maka itu adalah perselingkuhan.
            Ellie marah besar saat ia memergoki Adrian bergelung di ranjang dengan seorang wanita. Dari wajah wanita itu, Ellie bisa menebak bahwa wanita itu hanya penghibur murahan. Tetap saja, Adrian sama sekali tidak berhak menyakiti Ellie dengan tidur bersama perempuan lain.
            Dan keputusan itu mutlak. Mereka putus. Dan Ellie tidak, dan tidak akan pernah, mau kembali bersama Adrian lagi.

***

            Ellie tersentak saat ia merasakan getaran dari dalam saku blazer-nya. Rupanya ponselnya berbunyi. Ia segera merogoh kantongnya dan segera alisnya bertaut saat melihat apa yang tertera di layar itu.
            Hanya deretan angka yang berakhir dengan angka 1889. Tanpa nama di kontaknya pun, Ellie hapal siapa pemilik nomor itu. Adrian kembali meneleponnya.
            Dengan jengah, Ellie memencet tombol ‘Abaikan’ dan memasukkan ponselnya kembali dalam kantong. Adrian. Dasar hidung belang. Setelah diputuskan Ellie, pria itu justru makin gencar menerornya untuk merajut kasih kembali. Entah dengan telepon, sms, chat, surat, dan segalanya. Tapi Ellie tidak bodoh. Dan ia tidak mau dibodohi. Baginya, sekali dikhianati tidak menutup kemungkinan kau akan dikhianati orang yang sama untuk kedua kalinya.
            Untung saja Ellie pintar.

***

            “Rrrrrrrr..”
            Ini yang ketiga kalinya, ponselnya bergetar. Ellie melakukan hal yang sama, melihat-memencet tombol ‘Abaikan'-memasukkan ponselnya kembali ke kantong.

***

            Jam 9.11.
            Ellie melirik penumpang bis yang kian lama kian menyusut. Kini hanya tinggal dirinya dan seorang kakek tua yang ada di dalam bis. Tinggal sekitar 20 menit lagi, ia akan bisa berbaring di ranjangnya yang hangat dan nyaman. Mungkin dengan segelas kopi atau..
            “Rrrrrr..”
            Sial, apa Adrian tidak mau menyerah juga? Pikirnya kesal. Ini sudah yang ke-50 kalinya, Adrian menelponnya. Semuanya sudah menjadi missed-call. Apa pria itu tidak sadar, Ellie tidak ingin bicara padanya? Ellie menggeram kesal dan akhirnya ia memutuskan untuk menekan tombol ‘Jawab’.
            “Ad..” belum sempat Ellie melontarkan makian, terdengar bunyi gemerisik di latar belakang suara di ujung teleponnya. Dan napas terengah-engah.
            Dan kemudian suara Adrian yang gemetar dan agak melengking, memenuhi telinga Ellie.
            “Tolong! Tolong aku!” Ellie tercengang mendengar Adrian menangis. “Tolong aku, Ellie. Panggil Polisi. Aku ada di Oakland Street. Kumohon panggil pol..”
            Dan panggilannya mati sebelum Adrian menyelesaikan kalimatnya. Ellie menggigit bibir dengan gugup. Diliriknya jam tangannya sekali lagi.
            Dan jarinya berlarian lincah di atas keypad mengetik nomor polisi.

***

            Ellie menapakkan kaki di halte bis dan menunggu kendaraan berwarna merah itu berlalu. Setelah pembicaraan yang mendesak dengan polisi berlogat Selatan di telepon, Ellie tidak dapat menahan diri untuk menekan tombol speed-dial di ponselnya. Kelegaan dan kebahagiaan membanjiri dirinya, seperti adrenalin. Membuatnya berdebar-debar.
            “Hallo? Ellie? Aku sudah melakukannya.” Terdengar suara samar yang tidak bisa Ellie tentukan gender si pemilik suara. Tapi, Ellie tidak peduli. Toh, asalkan dia bisa melakukan tugasnya dengan baik, Ellie tidak perlu ambil pusing tentang apa jenis kelaminnya.
             “Bagus!” Ellie tersenyum puas. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk mengirimnya ke neraka.”




p.s : This story's also available in Facebook's Note :'D

0 komentar: