Anna Avicenna
Belinda Arimbi
Anna Avicenna |
Ah.. Anna Avicenna. Dua kata yang
membuat hariku berbeda. Dua kata yang membuatku girang tak terkira. Hanya dua
kata, dilafalkan Anna Avicenna. Dua kata yang dengan ajaibnya merepresentasikan
seorang gadis cantik dengan wajah bulat dan rambut coklat membingkai. Dua kata
untuk menggambarkan bola mata coklat dan bibir merah merekah. Anna Avicenna.
Paduan kata yang sungguh menggambarkan kecantikan dan keanggunan yang berpadu
dengan kepandaian dan kewibawaan. Sungguh sangat Anna! Ah.. Anna-ku yang..
“Hayo, melamunkan apa?” Rizal
menepuk pundakku, mengabur segala bayangan dan imajinasi tentang gadis cantik
yang tersembunyi di bilik ujung kantor. Rizal Dirgantara mungkin tipe laki-laki
yang layak kuanggap rival. Siapalah yang tidak jatuh cinta pada rambut hitam bergelombang
dan mata tajam yang diperisai oleh kacamata itu. Siapalah yang tidak tahan
dilimpahi senyum seribu watt-nya.
Hah! Semoga saja Anna memiliki tipe yang kriterianya di atas Rizal. Mungkin
tipe yang..sepertiku?
“Bukan urusanmu, ‘kan?” Aku mengerucutkan
bibir, kembali mencoba fokus pada tumpukan files
yang menggunung di meja. Salahku sendiri, mengambil cuti kemarin. Sekarang
pekerjaanku mengantri untuk diselesaikan.
“Hei, aku ‘kan sobatmu, Rey.” Rizal
mengacak-acak rambutku. Sejujurnya aku benci diperlakukan seperti itu olehnya.
Risih.
Aku bangkit dan berusaha mendorong
figurnya yang lima senti lebih tinggi dariku. Perbedaan yang tidak pernah
kusesali, karena aku cukup puas bisa lebih tinggi dari Anna yang notabene
memiliki tubuh peragawati. “Kau pergilah sana. Jangan ganggu aku. Tak lihat ya,
aku sedang ngebut pekerjaan?”
Rizal melontarkan tawanya. Cukup
keras untuk membuat beberapa kepala feminism menoleh dengan tertarik. Salah
satu yang kubenci saat bersama Rizal adalah aku selalu kalah pamor.
“Oke, oke. Santailah sedikit, Rey.”
Rizal merapikan kemejanya. Aku bersedekap, memblokir agar dia tidak kembali ke
dalam bilikku. Ia nyengir lebar.
“Rey, Rey..” Rizal
menggeleng-gelengkan kepala. “Bagaimana bisa dapat pacar kalau kau sebegitu
galak?”
Aku mendenguskan Puhh keras. Siapa yang peduli padaku,
jika dia ada di sekitarku? Sudah kubilang, aku akan kalah pamor. Tapi, aku
tidak sebodoh itu sampai membuatnya tahu. “Biar saja Rey ini jomblo sepanjang masa.”
Rizal tertawa lagi. Makin banyak
kepala-kepala yang melongok ingin tahu. “Hei, aku tahu! Bagaimana jika
Valentine tahun ini, kau mencari pacar? Kita bisa double-date —kencan ganda!”
Aku memutar bola mata. “Yang benar
saja. Aku kan bukan ABG labil sepertimu.”
Alis Rizal mengerut. “Ya ampun. Apa
aku harus mencarikanmu pacar, Rey? Aku punya banyak kenalan..”
“Jangan. Coba. Coba.” Kulemparkan
tatapan mengancam dan aku berbalik kembali menghadap tumpukan dokumenku.
Berusaha memfokuskan diri pada deretan karya yang masih perlu dianalisa
kekurangan dan kelebihannya. Sepenuhnya mengabaikan Rizal yang tertawa,
mengejek di balik punggungku.
ooOOoo
Aku menatap berderet buku yang
tertata rapi di depan mataku. Inilah kebingungan terbesarku setiap memasuki
toko buku. Terlalu banyak pilihan. Sehingga sulit memutuskan mana yang layak
dibarter dengan lembar-lembar uang di dompet. Karena aku seorang pelahap buku
sejati, maka hampir semua rak kutelusuri. Filsafat, Geografi, Ekonomi, Seni dan
Sastra, Novel.. mungkin aku hanya melewatkan lorong rak yang berlabel Buku
Pelajaran.
Aku
tengah menimbang-nimbang apakah aku lebih memilih menghabiskan waktu untuk
tenggelam dalam kisah abad Pertengahan atau Modernisme saat kurasakan sebuah
tangan halus menepuk pundakku. Sensasinya sungguh berbeda jika dibandingkan
dengan ditepuk Rizal yang tangannya bagai tangan raksasa. Tepukan yang ini
menggetarkan.
“Loh, Rey?”
Suara itu. Murni dan menenangkan.
Tiada satupun yang dapat menandingi saat suara lembut dan feminism itu
melafalkan namaku. Suara yang kurindukan setiap malam. Malah, setiap saat.
“Anna?” Aku mengakhiri dengan tanda
tanya, mengkonfirmasi mataku yang dibutakan perasaan gembira berlebihan.
Anna-ku berdiri di sampingku kini.
Rambutnya yang dikepang, tergelung ke atas dengan sematan bunga mawar untuk
pemanis. Pakaiannya membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuatku sedikit
tenang karena tidak banyak laki-laki yang bisa menikmati lengkuk tubuhnya yang
tidak kentara. Seperti biasa, wajah Anna hanya terpoles riasan tipis. Bibir
merahnya merekah alami. Cantik tapi tidak menyakitkan pandangan.
“Kok sendirian, Rey? Tidak sama
Rizal?” Anna mengedarkan pandangan.
Aku gagal menyembunyikan
kekesalanku. Dengusan itu keluar begitu saja, saat Anna menanyakan Rizal.
“Memangnya aku pacarnya, kemana-mana harus berdua?”
Anna tertawa. Duh, lonceng gereja
saja kalah merdu dengan tawanya. Ia menyeka matanya. “Kukira.”
Deretan buku di hadapanku tak lagi
nampak menarik. Masa bodoh dengan King Arthur dan Manusia Mars. Daripada
memelototi sampul yang menggoda dompet, lebih baik memandangi Anna yang
menggoda iman.
“Kau cari apa?” Anna melarikan
jari-jemarinya yang lentik dengan kuku terpoles indah di atas sampul-sampul
terbalut plastik.
“Eh..” Tergagap, aku menyingkir
bayangan tangan Anna berlari di atas kulitku. “Mmm.. bacaan untuk di rumah.”
Anna menarik salah satu buku dengan
sampul buku bercorak daun dari rak. Ia meneliti bagian belakangnya, mencaritahu
deskripsi isinya. “Punya banyak koleksi di rumah?”
“Lumayan.” Aku tersenyum senang.
Sepertinya aku tidak bermimpi apapun semalam, hingga bisa bertemu dan mengobrol
dengan Anna seperti sekarang ini. Kuusahan suaraku terdengar biasa-biasa saja.
“Kau bagaimana?”
Rupanya buku yang ditariknya tidak
cukup menarik, karena kemudian dikembalikan lagi di rak. Tangan lentik Anna
kembali menarik buku lain. “Sama juga, sih. Suntuk dengan referensi fashion dimana-mana.”
Anna adalah editor bagian fashion di kantor kami. Oh, dan aku
adalah editor bagian cerpen dan cerbung. Kami bekerja di bawah nama majalah
yang sama, yang ditujukan untuk kaum wanita. Tapi, kantor majalah wanita tidak
melulu harus berpegawai wanita juga. Bahkan hampir 60% karyawannya justru kaum
Adam.
“Kau sering ke sini?” Tangan Anna
memegang beberapa buku. Pilihan yang akhirnya layak ditukar dengan gesekan
kartu kredit di kantongnya.
Aku memasukkan tanganku ke dalam
kantong jeans, berusaha menahan
keinginan menyambar tangannya. “Lumayan sering.”
Kepala Anna terangguk-angguk. “Wah,
aku jarang melihatmu. Padahal aku juga sering ke sini.”
“Mungkin berselisih waktu.” Secara
otomatis, aku mengikuti langkah Anna yang berjalan di sepanjang rak, memilih
buku. Aku hampir saja menabraknya saat, kakinya terhenti mendadak.
“Oh! Kalau begitu, kita mungkin bisa
ke sini sama-sama.” Anna tersenyum lebar. “Kau tahu, Rey, aku selalu kesepian,
tidak punya teman ke toko buku.”
Satu-satunya kalimat yang kubisikan
dalam hatiku saat itu adalah Jangan
melompat-lompat seperti orang gila, Rey.
ooOOoo
“Jadi?”
Rizal menatapku dengan tajam di
balik kacamatanya. Istirahat siang itu, kumanfaat untuk sedikit bercerita
padanya. Aku tidak mau membuatnya benar-benar mencarikanku pacar. Maka dengan
sedikit samar-samar, aku ceritakan kejadian di toko buku kemarin. Tentunya
dengan nama Anna yang disensor. Bisa heboh, jika satu kantor tahu aku naksir
Anna. Terlebih Rizal.
“Jadi.. apanya?” Aku mengernyit
tidak mengerti.
Figur di hadapanku menyeruput
kembali kopinya. Menyabarkan diri atas kebebalanku yang mungkin dianggapnya
keterlaluan. “Jadi, Rey, apa kau sekarang pacaran dengannya?”
Tersentak, aku hampir menggulingkan
cangkirku. “Pacaran bagaimana? Aku ‘kan baru bertemu dia kemarin!”
“Tapi, katamu dia teman lamamu?”
Itulah salah satu bagian yang kumodifikasi, bahwa aku bertemu teman kuliahku di
toko buku. Dan dalam pandangan Rizal, seharusnya kami sudah siap menjadi
partner dalam rencana kencan gandanya.
“Memang. Tapi ‘kan tidak langsung
dijadikan pacar juga.” Aku mencemooh. Rizal selalu suka dengan langkah cepat.
Prinsipnya adalah jika kau suka seseorang, langsung sikat saja. Tidak perlu
bertele-tele. Hal sama yang berlaku, jika dia mulai bosan dengan kekasihnya.
Tentu saja, aku tidak berprinsip
seperti itu. Jika iya, Anna sudah lama bersanding denganku.
“Payah kau.” Rizal melemparkan
pandangan menghina. “Kalau aku jadi kau, sudah kusabet dia.”
Aku mengelus pinggiran cangkirku.
Tapi aku ‘kan bukan kau. Tanpa sadar, aku melontarkan isi pikiranku.
“Kau harus bergerak cepat, tahu.”
Rizal mengembangkan lubang hidungnya. Hah! Coba saja jika wanita-wanita
pengagumnya melihat kebiasaannya yang satu ini. Mungkin aku tidak akan kalah
pamor dibanding dia lagi. “Kau harusnya.. eh! Anna!”
Aku menyenggol cangkirku, mengamati
cairan berwarna coklat menggenang yang membentuk pola abstrak di atas meja
dengan gugup.
ooOOoo
“Kau ketemu Rey kemarin?” Rizal
langsung bersemangat saat Anna duduk dan meletakkan gelasnya yang setengah
terminum. Cairan di dalamnya membuatku yakin bahwa Anna memang sungguh menjaga
bentuk tubuhnya dengan alami dan sehat.
Anna nyengir padaku. Seolah merasa
bersalah. Ekspresi wajahku hanya bisa dideskripsikan sebagai pasrah.
“Apa dia bersama seseorang?” Rizal
memberondong lagi. Anna melirikku. Rizal menyadari gerak itu. “Katakan saja
padaku, jangan sungkan sama Rey!”
Siang itu harusnya aku bisa berpuas
diri mengobrol dengan Anna tentang hal yang berbagai hal yang kami
sukai.Seperti misalnya jenis buku, jenis musik, jenis kekasih.. Coba, kalau
Rizal tidak ada. Aku tidak akan jadi obyek ‘penelitian’-nya sekarang.
“Dia sendiri kok.” Akhirnya kalimat
itu keluar dari bibir Anna. Rizal menatapku dan Anna bergantian. Seolah yakin
bahwa ada perjanjian tidak tertulis di antara kami.
“Yang benar?” tanyanya curiga.
Anna menjawab mantap. “Benar kok.
Kami malah berkeliling toko sama-sama kemarin.”
Bibir Rizal mengerucut. Kali ini,
mengeluarkan statement yang tidak
sesuai kenyataan. “Tapi.. kemarin Rey ketemu mantannya lho! Kau yakin tidak
lihat siapapun?”
“Yakin.” jawab Anna. Ia melirikku
jahil. Lirikan yang membuat jantungku mendadak berdebar-debar. “Tapi.. mungkin
Rey ketemunya sebelum ketemu aku?”
Rizal mengangguk-angguk sok paham.
“Berhenti ngomongin itu, ah.” Aku mengancamnya. Rizal pura-pura tuli. Tapi,
toh dia beralih ke topik lain. Hanya saja, topik yang dibicarakannya kini tidak
terlalu menolongku keluar dari masalah. Malah menambah masalah baru. Apalagi
Anna terlibat dalam obrolan itu.
“Kau dan Rey mau double-date?” Anna membulatkan mata.
Rizal mengerling padanya. “Kau mau
ikut? Sebagai pasanganku.”
Kubilang apa, soal gerak cepat?
Tanpa basa-basi dia mengajak Anna-ku. Harusnya aku yang mengajaknya. Tapi aku
kalah cepat lagi.
Rasanya menyakitkan melihat semburat
merah muncul di pipi Anna. Aku mengenali semburat itu. Aku hampir bisa
menirukan kalimat yang akan keluar dari bibir merahnya. Kalimat klise yang akan
diucapkan sebagai bentuk ketidakpercayaan. Kekagetan yang menyenangkan.
“Sungguh?”
Tapi, Anna masih memiliki sedikit
perasaan untuk menoleh dan menatapku. “Tapi, Rey bagaimana?”
Rizal tidak tahu. Dia tidak tahu aku
memendam perasaan untuk Anna. Perasaan yang sudah berakar kuat sejak aku
pertama kali melihatnya. Perasaan bernama cinta yang sampai sekarang tertahan
untuk diungkapkan. Cinta yang tidak dapat kukatakan bukan karena aku tidak mau
Anna tahu. Bukan karena aku takut Anna menolakku. Tapi, karena aku tidak ingin
semua yang kubangun selama ini runtuh. Sahabatnya yang akhirnya bisa
kudapatkan. Karir yang akhirnya bisa kurintis. Hidup yang akhirnya bisa
kunikmati.
Rizal tidak tahu keadaanku. Jadi, aku tidak
bisa menghakiminya, saat ia menjawab,
“Loh, aku ‘kan bukan pacarnya. Reyna bisa
mencari laki-laki lain. Mungkin teman lamanya di toko buku itu.”
Sungguh, aku tidak bisa menyalahkannya
karena aku terlahir sebagai wanita.
ooOOoo
Catatan Author :
Maraknya isu LGBT sekarang ini sedikit membuat saya jengah. Apalagi banyak bermuncul berbagai opini yang nge-sok tahu soal perkara ini. Rasanya malas dan kesal melihat timeline tiba-tiba penuh dengan berbagai status dan isu yang terkait. Pro dan kontra. Dan bukannya mau mendukung atau menolak, saya kesal sekali jika orang yang memposting itu sok tahu soal masalah ini dan asal menghakimi.
Masalah LGBT sudah lama ada sebelum ini. Tapi baru tahun ini jadi masalah heboh. Saya pikir orang-orang cenderung lebay dengan isu ini. Kenapa baru sekarang pedulinya? Okelah, kalo anda-anda sekalian concern dengan masalah ini. Tapi tidak asal teriak dan lempar batu sembunyi tangan dong.
Pokoknya kalo ditanya saya pro atau kontra, jawaban saya masih sama : grey area. Saya percaya kalo cinta itu nggak memandang gender. (Anda harus baca bukunya David Levithan yang berjudul Another Day dan Everyday! Recommended banget! Ini salah satu latar belakang alasan saya itu).
Saya juga percaya kalo penyimpangan itu salah dan bisa disembuhkan asal ada support dari orang sekitar. Ketahuilah, men-judge orang tanpa berniat membantu itu tidak ada gunanya. Apalagi yang ditambah menghina dan merendahkan. Cuma nambahin dosa aja.
0 komentar:
Posting Komentar