Sate dan Kambing : Sebuah refleksi dari sisi lain wanita
Mending
tuku sate, timbang tuku wedhus’e
Mending
gendak’an, timbang dadi bojone
Tuku
sate, ora mikir mburine
Penggalan
lirik lagu itu tentunya tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Lirik lagu yang
merupakan petikan lagu dangdut berjudul “Wedhus” yang dinyanyikan oleh Devi
Aldiva dari kelompok New Pallapa ini, memang akrab di telinga masyarakat awam,
terutama yang berdarah Jawa. Jika diartikan secara bebas, lagu itu memiliki
arti bahwa lebih baik membeli sate daripada membeli kambingnya. Perumpaan itu
untuk menggambarkan bahwa lebih baik menjadi simpanan daripada menjadi istri
sahnya.
Tapi, benarkah demikian?
Akhir-akhir ini saya mengamati bahwa
tema-tema yang diusung musik dangdut memang dekat pada kehidupan sehari-hari
kita. Seperti contohnya lagu “Wedhus” ini. Tapi, apakah memang itu
kebenarannya? Benarkah sesungguhnya wanita lebih suka memilih posisi sebagai
simpanan daripada istri sah? Ataukah sesungguhnya lagu ini hanyalah cerminan
dari kaum pinggiran yang mengais rupiah dari menjadi simpanan?
Di larik ketiga dan keempat, kita
melihat si penyanyi menyampaikan bahwa dengan membeli sate, kita tidak perlu
memikirkan hal-hal yang lain lagi. Sementara jika kita membeli kambing, kita
akan disibukkan dengan makanannya dan segala hal tetek-bengeknya.
Ada secuil kebenaran dalam lagu itu.
Di kehidupan modern ini, manusia memang cenderung mencari hidup yang mudah dan
tidak rumit. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hal yang ada di sekitar kita,
seperti penggunaan teknologi dalam berbagai hal. Rupanya kemudahan itu juga berlaku untuk
urusan ‘rumah tangga’.
Kita bisa mengambil dua sudut
pandang saat menelaah lagu ini. Pertama, sudut pandang seorang pria. Dan kedua,
sudut pandang seorang wanita. Terlepas dari gender sudut pandang yang ada,
semuanya masih memiliki kaitan dengan peran wanita.
Pertama, sudut pandang pria.
Peristiwa yang sering diumpamakan
dengan cinta satu malam ini memang bukan fenomena baru di Indonesia. Tidak perlu
melihat petinggi-petinggi negara, bahkan dalam komunitas warga yang kecilpun,
tidak jarang hal ini ditemukan. Mereka yang memilih hubungan model ini,
biasanya hanya mencari kesenangan dan pelampiasan. Mereka tidak menawarkan
komitmen sebagai kontrak, tapi hanya uang dan hal-hal duniawi untuk kesenangan
sesaat. Wanita bukan lagi manusia yang dipandang setara sebagai sesama manusia,
tetapi hanya dipandang sebagai hal yang cukup dibeli dengan uang. Barang yang
setelah dipakai, dilupakan. Wanita hampir tidak ada bedanya dengan sandal.
Jelas sekali di sini, wanita adalah
korban. Tapi, bisakah disebut korban jika yang bersangkutan melakukannya dengan
sukarela?
Inilah yang akan kita ketahui
melalui sudut pandang wanita.
Sekali simak saja, kita dengan
mudahnya dapat mengatakan bahwa lagu ini mencerminkan perilaku wanita yang minim
moral dan harga diri. Tapi apa memang begitu? Sayangnya, kita tidak bisa
menghakimi seseorang hanya karena kita melihat tindakannya. Kita harus pula
mengetahui apa latar belakang dan motif dari tindakan itu. Barulah kita dapat
mengambil kesimpulan.
Posisi wanita yang hidup di rimba
kehidupan masa kini memang seringkali disalahartikan. Hampir selalu disimpulkan
bahwa wanita modern adalah wanita yang mandiri dan independen. Wanita modern
tidak perlu lagi terikat dalam ikatan perkawinan dan menjadi ‘kaki dan tangan’
suami. Ia bisa menjadi ‘kepala’ bagi dirinya sendiri. Karena kesetaraan dalam
kebebasan itulah, wanita modern sering didefinisikan sebagai figur yang bebas.
Dan jika kita mengaitkan fakta ini
dengan lagu “Wedhus”, kita seolah disodori suatu pemandangan bahwa wanita
modern lebih baik menjalani kehidupan sebagai simpanan daripada terkurung dalam
ikatan perkawinan. Syair yang digunakan seakan mengiming-imingi kaum pria bahwa
memiliki ikatan dengan wanita itu merugikan. Dan untuk memberikan solusi atas
kebutuhan kaum pria akan wanita, maka kaum wanita menawarkan jawaban berupa
hubungan model ‘cinta satu malam’.
Merendahkan derajat kaum wanita, ya.
Memang itu yang akan kita tangkap dari lagunya. Sebegitu ‘mandiri’kah wanita
hingga mereka berani mengumbar diri mereka demi sebuah hubungan non-permanen
seperti itu? Sebegitu ‘merdeka’kah wanita hingga mereka bebas meraup rupiah
hasil dari berkubang dalam lumpur kenistaan? Tentunya bukan ini yang diharapkan
Raden Ajeng Kartini saat ia berjibaku menyetarakan derajat wanita dalam
masyarakat. Kartini tidak menentang keluarganya untuk melihat kaum wanita
modern menciutkan makna wanita mandiri dan merdeka. Mandiri dan merdeka menurut
Kartini adalah kebebasan untuk menjadi wanita yang vokal akan hak-haknya dan
sadar bahwa wanita juga memiliki peran untuk menjadikan sesuatu yang lebih
baik. Mandiri dalam bertindak, bukan berarti lepas tanggung-jawab menjadi
seorang wanita yang seutuhnya. Menjadi istri. Menjadi ibu kelak nanti. Ingat, Kartini
tidak berjuang membela kaum wanita, untuk melihat kita lebih memilih sate
daripada membeli kambing —betatapun sulitnya mengurus kambing. Bukankah lebih lezat
sate yang kita nikmati jika itu adalah hasil jerih payah kita merawatnya?
Ah, dan selamat hari Kartini, bagi wanita Indonesia!